Vol. 54 No. 2 (2023)
Rekonstruksi spiral oblique retinacular ligament menggunakan free graft tendon dalam penanganan deformitas swan neck akibat mallet finger kronis: Sebuah laporan kasus
Made Bramantya KarnaOnline First: May 25, 2023
- Abstract
Rekonstruksi spiral oblique retinacular ligament menggunakan free graft tendon dalam penanganan deformitas swan neck akibat mallet finger kronis: Sebuah laporan kasus
Abstract
Introduction: Swan neck deformity (SND) is characterized by hyperextension of the prochymal interphalangeal joint (PIP) and limitation of extension movement of the distal interphalangeal (DIP) accompanied by loss of finger function and loss of finger grip. SND often results from chronic mallet injuries and requires surgical treatment. One of the surgical procedures is the reconstruction of the spiral oblique retinaculum ligament (SORL). We report a case of SND due to chronic mallet finger which was treated with SORL reconstruction using a free tendon graft from palmaris longus.
Case Report: We report a case of SND due to chronic mallet finger deformity in a 16-year-old male patient with left ring finger deformity for 10 years with 55◦ extension lag and −20◦ PIP joint hyperextension. We performed SORL reconstruction using a free tendon graft from the palmaris longus and temporary immobilization using a K-wire on the PIP in 20◦ flexion and in the DIP in neutral position for 3 weeks. Five weeks after surgery, the patient achieved good range of motion and stability in the PIP and DIP joints.
Discussion: SORL reconstruction of a finger with chronic mallet deformity coordinates extension of the PIP and DIP joints with a dynamic effect of tenodesis. This concept improves the stability of the DIP and PIP joints by connecting the volar flexor tendon sheath to the lateral aspect of the terminal tendon using a free tendon graft, thereby providing a mechanism for DIP extension during active PIP extension.
Conclusion: SORL reconstruction using a free tendon graft from the palmaris longus may be an effective treatment option for SND.
Pendahuluan: Deformitas swan neck (SND) ditandai dengan adanya hiperekstensi pada sendi interphalangeal prokimal (PIP) dan keterbatasan gerakan ekstensi dari interphalangeal distal (DIP) disertai dengan hilangnya fungsi jari dan kehilangan daya genggam jari. SND sering diakibatkan oleh cedera mallet yang kronis dan membutuhkan penanganan pembedahan. Salah satu prosedur pembedahan adalah dengan rekonstruksi spiral oblique retinaculum ligament (SORL). Kami melaporkan kasus SND akibat mallet finger kronis yang dilakukan penanganan dengan rekontruksi SORL menggunakan free tendon graft dari palmaris longus.
Laporan Kasus: Kami melaporkan kasus SND akibat deformitas jari mallet finger yang kronis pada pasien laki-laki berusia 16 tahun dengan kelainan bentuk jari manis kiri selama 10 tahun dengan extension lag 55◦ dan −20◦ hiperekstensi sendi PIP. Kami melakukan rekonstruksi SORL menggunakan free tendon graft dari palmaris longus dan imobilisasi sementara menggunakan K-wire pada PIP dalam keadaan fleksi 20◦ dan pada DIP dalam posisi netral selama 3 minggu. Lima minggu setelah dilakukan tindakan pembedahan, pasien mencapai rentang gerak yang baik dan stabilitas pada sendi PIP dan DIP.
Pembahasan: Rekonstruksi SORL terhadap jari dengan deformitas mallet kronis mengoordinasikan ekstensi dari sendi PIP dan DIP dengan efek tenodesis yang dinamis. Konsep ini meningkatkan stabilitas sambungan DIP dan PIP dengan menghubungkan selubung tendon fleksor volar ke aspek lateral tendon terminal menggunakan free tendon graft, sehingga menyediakan mekanisme untuk ekstensi DIP pada saat ekstensi PIP secara aktif aktif.
Kesimpulan: Rekonstruksi SORL menggunakan free tendon graft pada palmaris longus mungkin menjadi pilihan yang baik dalam penanganan SND.
Sindrom rubella kongenital: sebuah studi kasus
Made Nindya Prahasari Wismawan, Romy WindiyantoOnline First: Jun 28, 2023
- Abstract
Sindrom rubella kongenital: sebuah studi kasus
Background: Rubella is viral disease characterized by maculopapular rash, lymphadenopathy, and fever. Transmission of Rubella infection may occur through direct contact, nasopharyngeal droplets, or direct transmission in pregnancy. This case report aims to present a case of congenital rubella syndrome (CRS) in female baby with chief complain of unilateral cataract.
Case presentation: A 1-day-old female baby arrived at our center with a chief complain of unilateral cataract in the right eye. Physical examination revealed microcephaly and third-degree continuous murmur below left clavicula. Laboratory examination showed an increase in lymphocyte and immature to total neutrophil ratio (IT ratio) with neutropenia. Patient was then diagnosed with CRS with congenital cataract, non-cyanotic congenital heart disease, and microcephaly.
Conclusion: CRS is a constellation of symptoms caused by Rubella infection during pregnancy. Risk of developing CRS typically decreased with increasing gestational age. Prevention of CRS was done with immunization such as MR and MMR.
Pendahuluan: Rubella merupakan penyakit virus yang ditandai dengan ruam makulopapular, limfadenopati, dan demam yang disebabkan oleh infeksi virus Rubella. Penularan Rubella dapat melalui kontak langsung, droplet sekret nasofaring, atau penyebaran langsung pada ibu hamil. Studi ini bermaksud melaporkan kasus sindrom rubella kongenital (SRK) pada bayi perempuan dengan keluhan utama katarak unilateral.
Presentasi kasus: Seorang bayi perempuan berusia 1 hari datang dengan keluhan utama terdapat katarak unilateral pada mata kanan. Terdapat mikrosefali dan kelainan bunyi jantung berupa murmur kontinu di bawah klavikula kiri derajat III. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan limfosit, peningkatan rasio neutrofil imatur/total (IT ratio), dan neutropenia. Pasien didiagnosis SRK dengan katarak kongenital, penyakit jantung bawaan asianotik, dan mikrosefali.
Simpulan: Sindrom rubella kongenital (SRK) adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi Rubella yang terjadi selama kehamilan. Risiko terjadinya CRS akan menurun seiring dengan peningkatan usia kehamilan ibu. Pemeriksaan klinis dan tes penunjang digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit ini. Pencegahan SRK dapat dilakukan melalui imunisasi seperti MR dan MMR.
Meningitis dan bakteremia pada bayi prematur yang disebabkan oleh Elizabethkingia meningoseptica di RSUP Sanglah : Laporan kasus pertama yang dipublikasi
Juniarta Panggabean, Agus Eka Darwinata, Ni Made Adi TariniOnline First: May 25, 2023
- Abstract
Meningitis dan bakteremia pada bayi prematur yang disebabkan oleh Elizabethkingia meningoseptica di RSUP Sanglah : Laporan kasus pertama yang dipublikasi
Introduction: Elizabethkingia meningoseptica (E. meningoseptica) is a non-fermentative gram-negative bacillus that is commonly found in aquatic environments, including adequately chlorinated water reservoirs. E. meningoseptica very rarely causes infection in humans, but is often associated with neonatal meningitis and bacteremia, especially in premature neonates or newborns weighing less than 2,500 g. Infections that occur are often severe and life-threatening or can be cured but with sequelae. The characteristics of E. meningoseptica are its resistance to some antibiotics commonly used for gram-negative bacterial infections, but its susceptibility to antibiotics commonly used for gram-positive bacterial infections; Thus, conventional empiric antibiotics often lead to unfavorable outcomes. Special understanding is needed for clinicians of E. meningoseptica infection to prevent errors in management.
Case report: We report a case of meningitis and sepsis caused by E. meningoseptica in a female preterm infant born at 33 weeks gestation, in which the onset of fever occurred on day 19 of life. The infant received empiric therapy with intravenous ampicillin and amikacin. E. meningoseptica was identified from 2-sided cerebrospinal fluid and blood culture specimens, 3 days after collection. Infants then received definitive antibiotic therapy of intravenous ciprofloxacin for 25 days (4 weeks). The baby's clinical condition showed improvement, which was marked by normalization of cerebrospinal fluid although with hydrocephalus sequelae, and finally the baby was allowed to go home.
Conclusion: Prompt and precise diagnosis in clinical samples and sensitivity testing, appropriate empiric antibiotic therapy, and long-term definitive therapy are key factors in the successful management of E. meningoseptica infection.
Pendahuluan: Elizabethkingia meningoseptica (E. meningoseptica) adalah bakteri basil gram-negatif non- fermentatif yang banyak ditemukan di lingkungan air, termasuk penampungan air yang terklorinasi secara adekuat. E. meningoseptica sangat jarang menyebabkan infeksi pada manusia, namun sering dikaitkan dengan meningitis neonatus dan bakteremia, terutama pada neonatus prematur atau bayi baru lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gr. Infeksi yang terjadi seringkali berat dan mengancam jiwa atau dapat sembuh namun dengan sekuele. Karakteristik dari E. meningoseptica adalah resistensinya terhadap beberapa antibiotik yang biasa digunakan untuk infeksi bakteri gram-negatif, namun rentan terhadap antibiotik yang biasa digunakan untuk infeksi bakteri gram-positif; sehingga pemberian antibiotik empiris konvensional sering menyebabkan hasil yang tidak menguntungkan. Perlu pemahaman khusus bagi para klinisi terhadap infeksi E. meningoseptica untuk mencegah kesalahan dalam penatalaksanaan.
Laporan kasus: Kami melaporkan kasus meningitis dan sepsis yang disebabkan oleh E. meningoseptica pada bayi prematur perempuan yang lahir pada usia kehamilan 33 minggu, dimana onset demam terajdi pada hari ke 19 kehidupan. Bayi mendapatkan terapi empiris ampisilin dan amikasin intravena. E. meningoseptica teridentifikasi dari spesimen kultur cairan serebrospinal dan darah 2 sisi, 3 hari setelah dikoleksi. Bayi kemudian mendapatkan terapi antibiotik definitif siprofloksasin intravena selama 25 hari (4 minggu). Kondisi klinis bayi menunjukkan perbaikan, yang ditandai dengan normalisasi cairan serebrospinal meskipun dengan sekuele hidrosefalus, dan akhirnya bayi diijinkan pulang ke rumah.
Simpulan: Diagnosis yang cepat dan tepat dalam sampel klinis dan pengujian sensitivitas, pemberian terapi antibiotik empiris yang tepat, serta pemberian terapi definitif untuk jangka waktu yang lama merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pengelolaan infeksi E. meningoseptica.