Vol. 54 No. 1 (2023)
Menakar peran diklat daring, lingkungan kerja dan komunikasi terhadap kinerja tenaga medis dengan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi
I Gede Listiana, Gede Sri DarmaOnline First: Feb 4, 2023
- Abstract
Menakar peran diklat daring, lingkungan kerja dan komunikasi terhadap kinerja tenaga medis dengan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi
Background: Quality human resources are essential to an organization's move forward. The recent pandemic was a phenomenon that has affected and changed many aspects of our lives and the continuity of services provided for the community. Performance and work satisfaction become important indicators for the success of an organization. This research aims to study the effect of online short courses, work environment, and communication on the performance of health workers by measuring their work satisfaction as the mediating variable in Public Health Center of Karangasem District.
Method: The population of this research is all health workers working in Puskesmas Kabupaten Karangasem, which amounts to 520 personnel, who were selected using the proportionate stratified random sampling method that results in 226 employees serving as respondents. Sample data and study results were analyzed using inferential statistical analysis, in which the hypothesis of this research is tested to obtain a proper model using the variance-based or component-based approach with Partial Least Square.
Results: Online short courses, work environment and communication are proven to affect health workers' work satisfaction positively. Work satisfaction, online short courses, work environment and transmission are proven to positively impact health workers' performance. Work satisfaction fully mediates the effect of online short courses on the performance of health workers. It is suggested that further research should focus on long term studies that assess performance from questionnaires and valid data obtained statistically.
Conclusion: Online short courses, work environment, and communication as the mediating variable in Puskesmas Kabupaten Karangasem positively impact medical personnel's performance.
Latar belakang: Sumber daya manusia yang berkualitas menjadi hal esensial yang dapat menggerakkan suatu organisasi. Namun terjadinya pandemi menjadi suatu fenomena yang sangat mempengaruhi dan merubah semua tatanan kehidupan dan keberlangsungan setiap proses pelayanan bagi masyarakat. Kinerja dan kepuasaan kerja menjadi indikator penting dalam kesuksesan organisasi. Dalam penelitian ini bertujuan untuk meneliti dampak diklat daring, lingkungan kerja dan komunikasi terhadap kinerja tenaga medis dengan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi di Puskesmas Kabupaten Karangasem.
Metode: Populasi yang di ambil dari penelitian ini adalah seluruh tenaga medis yang bekerja di Puskesmas Kabupaten Karangasem dengan jumlah 520 orang, yang dilakukan dengan metode proportionate stratified random sampling, didapatkan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 226 karyawan. Dalam menganalisa data sampel dan hasilnya menggunakan analisis statistik inferensial. dimana pengujian hipotesis dalam penelitian ini untuk menghasilkan suatu model yang layak (fit) menggunakan pendekatan variance- based atau component based dengan Partial Least Square.
Hasil: Diklat online, lingkungan kerja dan komunikasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja tenaga medis. Kepuasan kerja tenaga medis, diklat online, lingkungan kerja, komunikasi berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga medis. Kepuasan kerja tenaga medis memediasi secara full mediation diklat online terhadap kinerja tenaga medis. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian jangka panjang agar kinerja tenaga media tidak hanya diambil dari kuesioner yang diberikan tetapi juga sesuai dengan data valid mengenai statistik.
Simpulan: Diklat daring, lingkungan kerja dan komunikasi sebagai variabel mediasi di Puskesmas Kabupaten Karangasem berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga medis.
Perbaikan urinalisis setelah 3 bulan siklofosfamid pada pasien pediatri dengan lupus eritematosus sistemik
Ketut Dewi Kumara Wati, Felicia Anita Wijaya, Gusti Ayu Putu Nilawati, Ida Bagus Ramajaya Sutawan, Bagus Ngurah MahakrishnaOnline First: Feb 12, 2023
- Abstract
Perbaikan urinalisis setelah 3 bulan siklofosfamid pada pasien pediatri dengan lupus eritematosus sistemik
Background: Renal involvement was the most common clinical manifestation in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE). Urinalysis was a simple laboratory test that might be used to monitor therapy in pediatric SLE with renal involvement. This study aimed to analyze the improvement of urinalysis abnormality at 3 months of cyclophosphamide.
Methods: This study was a retrospective analytical observational study. The population was pediatric SLE at Prof. dr. IGNG Ngoerah General Hospital, Denpasar. Inclusion criteria were children under 18 years old diagnosed in 2015 to 2020, with kidney involvement in the form of urinalysis abnormality and managed with cyclophosphamide. Exclusion criteria were incomplete 3 months of therapy and incomplete data. Data were derived from the Bali Pediatric SLE database (BEATLES study). The different proportions of proteinuria, erythrocyturia, leukocyturia and glucosuria at diagnosis and 3 months of cyclophosphamide were compared using the McNemar test with SPSS 23.
Results: From 63 subjects, there were 10 males (15.9%), mean age was 15.34±2.61 years. Proteinuria at diagnosis and 3 months of cyclophosphamide were 58.7% and 31,7%. Erythrocyturia at diagnosis and 3 months of cyclophosphamide were 63.5% and 42.9%. Leukocyturia at diagnosis and 3 months of cyclophosphamide were 23.8% and 9.5%. Glucosuria at diagnosis and 3 months of cyclophosphamide were 4.8% and 3.2%. McNemar test showed a significant difference in proteinuria (P<0.001), erythrocyturia (P=0.002) and leukocyturia (P=0.035), but not in glucosuria (P=1).
Conclusion: Urinalysis abnormality includes proteinuria, erythrocyturia and leukocyturia, but not glucosuria, improved in pediatric SLE who completed 3 months of therapy cyclophosphamide.
Latar belakang: Keterlibatan ginjal merupakan manifestasi klinis yang paling umum pada lupus eritematosus sistemik (SLE) pediatrik. Urinalisis adalah tes laboratorium sederhana yang dapat digunakan untuk memantau terapi pada SLE pediatrik dengan keterlibatan ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbaikan kelainan urinalisis pasca pemberian siklofosfamid 3 bulan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik retrospektif. Populasi penelitian adalah pasien SLE pediatrik di Prof. dr. RSU I.G.N.G Ngoerah Denpasar. Kriteria inklusi adalah anak berusia di bawah 18 tahun yang didiagnosis pada tahun 2015 hingga 2020, yang mengalami gangguan ginjal berupa kelainan urinalisis dan ditangani dengan siklofosfamid. Kriteria eksklusi adalah terapi 3 bulan tidak lengkap dan data tidak lengkap. Data berasal dari database Bali Pediatric SLE (studi BEATLES). Perbedaan proporsi proteinuria, eritrosituria, leukosituria dan glukosuria saat diagnosis dan siklofosfamid 3 bulan dibandingkan menggunakan uji McNemar dengan SPSS 23.
Hasil: Dari 63 subjek didapatkan 10 laki-laki (15,9%), rerata usia 15,34±2,61 tahun. Proteinuria saat diagnosis dan pasca siklofosfamid 3 bulan adalah 58,7% dan 31,7%. Eritrosituria saat diagnosis dan pasca siklofosfamid 3 bulan adalah 63,5% dan 42,9%. Leukosituria saat diagnosis dan pasca siklofosfamid 3 bulan adalah 23,8% dan 9,5%. Glukosuria saat diagnosis dan pasca siklofosfamid 3 bulan adalah 4,8% dan 3,2%. Uji McNemar menunjukkan perbedaan bermakna pada proteinuria (P<0,001), eritrosituria (P=0,002) dan leukosituria (P=0,035), tetapi tidak pada glukosuria (P=1).
Simpulan: Kelainan urinalisis termasuk proteinuria, eritrosituria dan leukosituria, tetapi tidak pada glukosuria, membaik pada SLE pediatrik yang menyelesaikan siklofosfamid 3 bulan.
Peran kualitas pelayanan memediasi kinerja dokter spesialis dan fasilitas rumah sakit terhadap kepuasan pasien
Nancy Cynthia Sudiartha, Ida Ayu Oka MartiniOnline First: Feb 2, 2023
- Abstract
Peran kualitas pelayanan memediasi kinerja dokter spesialis dan fasilitas rumah sakit terhadap kepuasan pasien
Background: The emergence of more and more hospitals encourages intense competition. Hospitals are always required to improve the quality of service to patients. One of the leading private hospitals in the city of Denpasar, namely Hospital X, there is a phenomenon where there are patient complaints about the performance of specialist doctors and existing hospital facilities. The complaint illustrates that in the polyclinic outpatient unit of the hospital, there is still patient dissatisfaction with the service and quality of service, which has resulted in a decrease in patient visits, especially at the ob-gyn specialist clinic, from June to September 2022. From the above phenomenon, the researcher aims to examine the Role of Service Quality in Mediating the Performance of Specialist Doctors and Hospital Facilities on Patient Satisfaction at Hospital X.
Methods: This type of research includes quantitative descriptive analysis and is observational. The method of determining the sample in this study used a purposive sampling method. The sample was selected based on patient criteria, namely outpatient obstetric specialist clinics at X Hospital as many as 98 respondents. The data analysis method chosen to answer the objectives of this research is to use Structural Equation Modeling (SEM)-Partial Least Square (PLS).
Results: The study found that the performance of specialist doctors showed a positive and significant effect on service quality and patient satisfaction. Hospital facilities positively and significantly impact service quality and patient satisfaction. Service quality does not affect patient satisfaction.
Conclusion: It can be concluded that service quality does not mediate the effect of specialist doctor performance on patient satisfaction, and service quality does not mediate the impact of hospital facilities on patient satisfaction.
Latar Belakang: Kemunculan rumah sakit yang semakin lama semakin banyak mendorong terjadinya persaingan yang ketat. Rumah sakit dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. Salah satu rumah sakit swasta terkemuka di kota Denpasar yaitu Rumah Sakit X, terdapat fenomena bahwa terjadinya keluhan pasien terhadap kinerja dokter spesialis dan fasilitas rumah sakit yang ada. Keluhan tersebut menggambarkan bahwa pada unit rawat jalan poliklinik rumah sakit tersebut masih terdapat ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan yang mengakibatkan terjadi penurunan kunjungan pasien terutama pada klinik spesialis kandungan dari bulan Juni s/d September 2022. Dari fenomena di atas, peneliti ingin mengkaji Peran Kualitas Pelayanan Memediasi Kinerja Dokter Spesialis Dan Fasilitas Rumah Sakit terhadap Kepuasan Pasien di Rumah Sakit X.
Metode: Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif dan bersifat observasional. Metode dalam menentukan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Sampel dipilih berdasarkan kriteria pasien yakni pasien rawat jalan klinik spesialis kandungan di Rumah Sakit X sebanyak 98 responden. Metode analisis data yang dipilih untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah mempergunakan Structural Equation Modeling (SEM)-Partial Least Square (PLS).
Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa kinerja dokter spesialis menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan dan kepuasan pasien. Fasilitas rumah sakit menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan dan kepuasan pasien. Kualitas pelayanan tidak mempengaruhi kepuasan pasien.
Simpulan: Dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan tidak memediasi pengaruh kinerja dokter spesialis terhadap kepuasan pasien dan kualitas pelayanan tidak memediasi pengaruh fasilitas rumah sakit terhadap kepuasan pasien.
Pengaruh konsentrasi PM2.5 pada polusi udara terhadap kejadian demensia: tinjauan sistematis
Yudha Anggoro Kawi, I Putu Diatmika, Agustine Mahardika, Ni Ketut Sri Diniari, Agung Bagus Sista SatyarsaOnline First: Mar 25, 2023
- Abstract
Pengaruh konsentrasi PM2.5 pada polusi udara terhadap kejadian demensia: tinjauan sistematis
The increasing number of people with dementia globally has given rise to studies examining the association of dementia with various risk factors. The researchers found evidence that for every 2 µg/m3 increase in mean annual PM2.5 concentration, the overall risk of dementia increased by 4% (hazard ratio 1.04 (95% confidence interval 0.99 to 1.09). PM2.5 concentrations in large cities vary widely, from under 10 µg/m3 to over 100 µg/m3. Therefore, air pollution has the potential to significantly influence the risk of dementia globally. Researchers used data from the PubMed database and ScienceDirect for epidemiological studies reporting the risk of developing dementia due to exposure to particulate matter with an aerodynamic diameter of less than 2.5 μm (PM2.5). The selection of articles was carried out according to the PRISMA method to assess the quality of systematic reviews. The database search yielded 5 studies relevant which describe the relationship between exposure to PM2.5 air pollutants and an increased risk of dementia. Of the 85 articles reviewed, there were 5 related articles which proved that air pollution is a risk factor for dementia.
Jumlah penderita demensia yang kian meningkat secara global meningkatkan studi yang membahas hubungan demensia dengan berbagai faktor risiko. Para peneliti menemukan bukti untuk setiap peningkatan rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan sebesar 2 µg/m3, risiko demensia secara keseluruhan meningkat sebesar 4% (rasio bahaya 1,04 (interval kepercayaan 95% 0,99 hingga 1,09). Adapun konsentrasi PM2.5 di kota-kota besar sangat bervariasi, mulai dari di bawah 10 µg/m3 hingga lebih dari 100 µg/m3. Oleh karena itu, polusi udara berpotensi secara signifikan mempengaruhi risiko demensia secara global. Peneliti menggunakan data dari basis data PubMed dan ScienceDirect untuk studi epidemiologi yang melaporkan risiko pengembangan penyakit demensia akibat paparan materi partikulat dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5 μm (PM2.5). Pemilihan artikel dilakukan sesuai dengan metode PRISMA untuk menilai kualitas dari tinjauan sistematis. Penelusuran basis data menghasilkan 5 penelitian relevan yang menggambarkan hubungan antara paparan polutan udara PM2.5 dengan peningkatan risiko demensia. Dari 85 artikel yang direview, terdapat 5 artikel terkait yang membuktikan bahwa polusi udara merupakan faktor risiko kejadian demensia
Analisis Faktor Penyebab Klaim Pending Pelayanan BPJS di Era JKN
Ni Wayan Ari Anindita Sari, Budi HidayatOnline First: Jan 15, 2023
- Abstract
Analisis Faktor Penyebab Klaim Pending Pelayanan BPJS di Era JKN
Introduction: Pending claims on BPJS Health services can have an impact on disrupting hospital cash flow. This study aims to determine the factors causing claim pending on BPJS services in the JKN Era.
Methods: A systematic literature search was performed on Google Scholar and Pubmed databases for articles within the last 7 years. Search based on PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses) and PICO criteria. Search for articles with boolean operators with keywords: "Pending claim" AND "BPJS" OR "health insurance" OR "claim return".
Results: There were 5 articles that deserved to be studied systematically. All articles agree that delays in BPJS claims are most often due to document discrepancies to fulfill BPJS claim requirements and the lack of completeness of membership administration or service documents. This is due to limited knowledge regarding BPJS claims, limited human resources in the case-mix team, unclear SOPs and inadequate facilities and infrastructure.
Conclusion: All factors from input and process greatly affect output, in this case the delay of BPJS claims. To reduce even greater losses and burdens on hospitals, solutions need to be implemented immediately for each of these components which are still experiencing problems.
Pendahuluan: Klaim pending pada pelayanan BPJS Kesehatan dapat berdampak pada terganggunya cash flow rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab penundaan klaim (claim pending) pada pelayanan BPJS di Era JKN.
Metode: Pencarian literatur sistematis dilakukan pada basis data Google Scholar dan Pubmed untuk artikel dalam 7 tahun terakhir. Penelusuran berdasarkan PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses) dan kriteria PICO. Penulusuran artikel dengan boolean operator dengan kata kunci: “Pending claim” AND “BPJS” OR “health insurance” OR “claim return”.
Hasil: Didapatkan sebanyak 5 artikel yang layak dikaji sistematis. Seluruh artikel sepakat bahwa penundaan klaim BPJS disebabkan paling sering karena adanya diskrepansi dokumen untuk memenuhi syarat pengklaiman BPJS dan kurangnya kelengkapan dokumen administrasi kepesertaan ataupun pelayanan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan wawasan mengenai klaim BPJS, keterbatasan sumber daya manusia dalam tim case-mix, SOP yang belum jelas serta sarana dan prasarana yang belum memadai.
Simpulan: Semua faktor dari input dan proses sangat mempengaruhi output dalam hal ini terjadinya penundaan klaim BPJS. Untuk mengurangi kerugian dan beban Rumah Sakit yang lebih besar lagi, solusi perlu segera diterapkan untuk masing-masing komponen tersebut yang masih mengalami kendala.
Rekonstruksi dua tahap dalam kasus ruptur flexor digitorum profundus: Sebuah laporan kasus
Made Bramantya KarnaOnline First: Feb 25, 2023
- Abstract
Rekonstruksi dua tahap dalam kasus ruptur flexor digitorum profundus: Sebuah laporan kasus
Introduction: Flexor tendon reconstruction of the hand remains a great challenge for hand surgeons. Two-staged tendon reconstruction presents a valuable option for the management of massive tendon rupture with extensive flexor pulley destruction, and those who have extensive scarring of the flexor tendon bed. The aim of the study is to evaluate the surgical two-staged flexor tendon reconstruction for tendon rupture.
Case presentation: We presented a case of neglected flexor digitorum profundus rupture in a 27-years old male with a chief complaint of being unable to flex the index finger at the level of the distal interphalangeal (DIP). We performed a successful two-stage tendon reconstruction. The initial stage includes tendon exploration, pulley reparation and creating pulley tunnel. The second stage performed at 6 weeks afterwards includes tendon reconstruction with palmaris longus graft. A separated two-stage tendon reconstruction is purposely performed in this case to imply a full passive flexion prior to the second stage of reconstruction. It allows proper and functional graft reconstruction within the next reconstruction. This staged reconstruction aims to restore the function of the FDP to bend the DIP.
Conclusion: Two-stage tendon reconstruction is a reliable and satisfying procedure for the management of neglected FDP rupture which was unable to be repaired with primary repair.
Latar belakang: Rekonstruksi tendon fleksor tangan masih menjadi tantangan besar bagi ahli bedah tangan. Rekonstruksi tendon 2 tahap merupakan pilihan terapi yang berharga dalam menangani kerusakan ruptur tendon masif, disertai kerusakan pulley, dan yang memiliki jaringan parut luas pada dasar tendon fleksor. Tujuan dari studi ini adalah mengevaluasi tindakan rekonstruksi tendon fleksor 2 tahap untuk menangani ruptur tendon.
Presentasi kasus: Kami melaporkan kasus ruptur tendon fleksor digitorum profundus yang terabaikan. Seorang laki-laki berusia 27 tahun dengan keluhan tidak dapat menekuk jari telunjuk bagian distal interphalangeal (DIP). Kami melakukan rekonstruksi tendon dalam dua tahap. Operasi tahap pertama ini meliputi eksplorasi tendon, perbaikan katrol dan penggunaan OGT untuk membuat terowongan katrol. Operasi tahap kedua, rekonstruksi tendon dengan cangkok palmaris longusdilakukan pada6minggusetelahnya. Rekonstruksi tendon bertahap memiliki tujuan khusus untuk mendapatkan gerak pasif maksimal sebelum dilanjutkan ke rekonstruksi tahap 2. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan aspek fungsionalFDPuntuk membuat DIP menekuk dengan baik.
Simpulan: Rekonstruksi tendon dua tahap, yang dilakukan pada pasien ruptur fleksor digitorum profundus yang terabaikan dapat menjadi tindakan diandalkan dengan hasil yang memuaskan, terutama pada kasus yang tidak dapat diperbaiki dengan penutupan luka jahitan primer.
Epistaksis berulang sebagai manifestasi dari lupus erythematosus sistemik pediatrik: sebuah laporan kasus
I G. N. Citra Jiwa Pramana, Ketut Dewi Kumara Wati, Ida Bagus Ramajaya Sutawan, Ketut Ariawati, AANKP Widnyana, Kadek Ayu Yani Lastariana, Luh Made Ratnawati, Dedi SilakarmaOnline First: Feb 18, 2023
- Abstract
Epistaksis berulang sebagai manifestasi dari lupus erythematosus sistemik pediatrik: sebuah laporan kasus
Background: Although hematologic manifestation is among diagnostic criteria of Systemic Lupus Erythematosus (pSLE), severe recurrent epistaxis is unusual. We aim to present the case with epistaxis which is a rare manifestation of pediatric SLE.
Case presentation: A 12 years old girl referred from type B Hospital with recurrent epistaxis due to suspected aplastic anemia. Epistaxis started since 4 month prior admitted, otherwise the most current epistaxis had occurred 7 days prior admitted. The patient also showed fever, weakness, and bruising on the right shin with laboratory result showed bicytopenia. Further complete examination showed systemic autoimmune process based on Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification (SLICC) criteria. Score for SLICC criteria for the patient was 4 prior serologic testing result, then criteria working diagnosis of pSLE was fulfill. Massive and recurrent epistaxis occured that refractory to thrombocyte concentrate transfusion and standard nose tampon, hence, high dose methylprednisolone (HDMP) for three consecutive days was initiated followed by cyclophosphamide. The immunosuppresssive treatment stop the epistaxis, thrombocytopenia, bruising, and general condition improved. Serologic testing showed titer Antinuclear antibody with indirect immunofluorescence method (ANA IF) 1:1000, Anti-double stranded DNA (AntidsDNA) 557.1 IU/mL, and C3 complement 47.1 mg/dL. Mallar rash as typical manifestation of SLE appeared after immunosuppresssive treatment. Complete evaluation emphasized diagnosis pSLE with total score 11 for SLICC criteria.
Conclusion: pSLE can showed severe unusual manifestations, clinicians need to find other subtle signs and symptoms of systemic autoimmune process for possibility of diagnosis pSLE to get prompt treatment for the patient.
Latar belakang: Meskipun manifestasi hematologi merupakan salah satu kriteria diagnostik dari Systemic Lupus Erythematosus (pSLE ), epistaksis berulang yang parah tidak biasa. Kami bertujuan untuk menyajikan kasus dengan epistaksis yang merupakan manifestasi langka dari SLE pediatrik.
Presentasi kasus: Seorang anak perempuan berusia 12 tahun dirujuk dari Rumah Sakit tipe B dengan epistaksis berulang karena diduga anemia aplastik. Epistaksis dimulai sejak 4 bulan sebelum masuk, sebaliknya epistaksis terbaru terjadi 7 hari sebelum masuk. Pasien juga menunjukkan demam, lemas, dan memar di tulang kering kanan dengan hasil laboratorium menunjukkan bisitopenia. Pemeriksaan lengkap lebih lanjut menunjukkan proses autoimun sistemik berdasarkan kriteria Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification (SLICC). Skor kriteria SLICC untuk pasien adalah 4 hasil pemeriksaan serologis sebelumnya, maka kriteria diagnosis kerja pSLE terpenuhi. Terjadi epistaksis masif dan berulang yang refrakter terhadap transfusi konsentrat trombosit dan tampon hidung standar, karenanya, metilprednisolon dosis tinggi (HDMP) selama tiga hari berturut-turut dimulai diikuti oleh siklofosfamid. Pengobatan imunosupresif menghentikan epistaksis, trombositopenia, memar, dan kondisi umum membaik. Tes serologi menunjukkan titer Antinuclear antibody dengan metode indirect immunofluorescence (ANA IF) 1:1000, Anti double stranded DNA (AntidsDNA) 557,1 IU/mL, dan komplemen C3 47.1 mg/dL. Ruam malar sebagai manifestasi khas SLE muncul setelah pengobatan imunosupresif . Evaluasi lengkap menekankan diagnosis pSLE dengan skor total 11 untuk kriteria SLICC .
Simpulan: pSLE dapat menunjukkan manifestasi parah yang tidak biasa, dokter perlu menemukan tanda dan gejala halus lainnya dari proses autoimun sistemik untuk kemungkinan diagnosis pSLE untuk mendapatkan perawatan yang cepat bagi pasien.
Laporan kasus teknik One Lung Ventilation (OLV) pada anak usia 4 tahun yang menjalani Video Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS) bullectomy
I Putu Fajar Narakusuma, Putu Kurniyanta, Wangsa Aditya, AldyOnline First: Jan 15, 2023
- Abstract
Laporan kasus teknik One Lung Ventilation (OLV) pada anak usia 4 tahun yang menjalani Video Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS) bullectomy
Introduction: The One Lung Ventilation (OLV) technique in infants and children is a practice that is only used in certain cases and has continued to develop in the last 20 years. Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) is a minimally invasive surgical approach used to diagnose and treat problems in the chest cavity. To be able to use this technique, anesthesia must be carried out by isolating one lung. The OLV technique is the method of choice for VATS because it provides better visibility of the surgical site and can protect the healthy lung.
Case Report: A four-year-old child weighing 35 kg came to the emergency room complaining of shortness of breath and pain in the right chest. These symptoms appeared 24 hours after landing on a national flight. After repeated chest tube placement due to tightness, a thoracic CT scan was performed, and multiple bullae were found in the right lung. The surgeons decided to conduct a bullectomy using the VATS technique. Modified OLV in pediatrics uses a Fogarty embolectomy catheter as a replacement bronchial blocker without a Fiber Optic Bronchoscopy (FOB) device as a video-visual and the use of a single lumen Endotracheal Tube (ETT). Ballooning-based bronchial blockers are an alternative technique for performing OLV in pediatric patients.
Conclusion: Combining anatomical knowledge, size, and modification of available equipment based on radiological results can provide a safe approach to OLV technique in pediatric patients undergoing thoracoscopic procedures.
Pendahuluan: Teknik One Lung Ventilation (OLV) pada bayi dan anak merupakan praktik yang hanya digunakan dalam kasus tertentu dan terus berkembang sejak 20 tahun terakhir. Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) merupakan pendekatan pembedahan minimal invasif yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan mengobati masalah di rongga dada. Untuk dapat menggunakan teknik ini harus dilakukan pembiusan dengan mengisolasi salah satu paru. Teknik OLV adalah metode yang dipilih pada VATS karena memberikan visibilitas yang lebih baik pada lokasi pembedahan dan dapat melindungi paru yang sehat.
Laporan Kasus: Seorang anak berusia empat tahun dengan berat badan 35 kg datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan sesak napas disertai nyeri pada dada kanan, gejala ini muncul 24 jam setelah mendarat dari penerbangan nasional. Setelah pemasangan chest tube berulang akibat sesak, dilakukan CT-Scan toraks dan didapatkan multiple bullae pada paru kanan. Ahli bedah memutuskan untuk melakukan bullectomy dengan teknik VATS. OLV modifikasi pada pediatri dilakukan dengan menggunakan kateter embolektomi Fogarty sebagai bronchial blocker pengganti tanpa perangkat Fiber Optic Bronchoscopy (FOB) sebagai video-visual dan penggunaan single lumen Endotracheal Tube (ETT). Bronchial blocker berbasis balloning merupakan salah satu teknik alternatif untuk melakukan OLV pada pasien pediatri.
Kesimpulan: Menggabungkan pengetahuan anatomi, ukuran, dan modifikasi peralatan yang tersedia berdasarkan hasil radiologi dapat memberikan pendekatan yang aman dalam teknik OLV pada pasien pediatri yang menjalani prosedur torakoskopi.