Vol. 52 No. 3 (2021)
Hubungan antara kejadian hiperemesis gravidarum dan dukungan psikososial dengan kejadian depresi pada ibu hamil di kota Denpasar, Bali
Putu Aryani, Komang Ayu Kartika Sari, Cokorda Bagus Jaya Lesmana, I Nyoman Bayu Mahendra, Putu Andrie SetiawanOnline First: Sep 1, 2021
- Abstract
Hubungan antara kejadian hiperemesis gravidarum dan dukungan psikososial dengan kejadian depresi pada ibu hamil di kota Denpasar, Bali
Background: Depression in pregnant women in Bali is still getting very little attention. This study aimed to determine the proportion of depression based on socio-demographic characteristics and the condition of hyperemesis gravidarum among pregnant women who underwent regular examinations to the Maternal and Child Health polyclinic (KIA) at the Puskesmas in the City of Denpasar.
Method: This study applied cross sectional analytical method. A total of 120 pregnant women were involved in this study, which was selected by using cluster sampling technique based on the location of the Puskesmas representing the sub-districts in Denpasar. Interviews were conducted in August 2018, where depression status was screened using the Edinburgh Pre-Post-natal Depression Scale questionnaire (EPDS).
Result: In this study it was found that the proportion of pregnant women experiencing hyperemesis was 74.2%, of which only 3.4% belonged to the category of severe hyperemesis. The proportion of depression in pregnant women included in this study was 27.5%. The greater proportion of depression events was found in the age group of 20 years or younger compared to the age group older than 20 years (55.6% versus 25.2%; p = 0.05); and in the group of pregnant women who have not / have not married. Based on the current hyperemesis condition, the proportion of depression is more prevalent in pregnant women who experience severe and moderate hyperemesis (33.3% and 27.8%) as compared to mild hyperemesis (24%), but the difference in this proportion is not significant (p = 0.884).
Conclusion: The proportion of depression which was found in this study is quite high as compared to the prevalence of depression in other studies in the world, so further studies are needed for identifying the need for treatment and prevention.
Latar Belakang: Depresi pada ibu hamil di Bali masih sangat kurang mendapatkan perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi depresi berdasarkan karakteristik sosio-demografis dan kondisi hiperemesis gravidarum ibu hamil yang menjalani pemeriksaan rutin ke poliklinik Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas di wilayah Kota Denpasar.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional. Sebanyak 120 orang ibu hamil terlibat dalam penelitian ini, yang dipilih dengan acak sederhana didasarkan atas letak puskesmas mewakili wilayah kecamatan di Denpasar. Wawancara dilaksanakan pada bulan Agustus 2018, di mana status depresi diskrining dengan menggunakan kuesioner Edinburgh Pre-Post-natal Depresion Scale (EPDS). Data diuji secara univariate dan multivariate menggunakan software SPSS versi 21.
Hasil: Dalam penelitian ini ditemukan proporsi ibu hamil yang mengalami hiperemesis adalah sebesar 74,2%, di mana hanya 3,4% nya termasuk dalam kategori hyperemesis berat. Proporsi depresi pada wanita hamil yang menjadi sampel penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Proporsi kejadian depresi yang lebih besar ditemukan pada kelompok umur 20 tahun ke bawah dibandingkan kelompok umur di atas 20 tahun (55,6% berbanding 25,2%; p=0,05); dan pada kelompok ibu hamil yang belum/tidak kawin. Berdasarkan derajat hiperemesis saat ini, proporsi depresi lebih banyak ditemukan pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis berat dan sedang (33,3% dan 27,8%) dibandingkan dengan hiperemesis ringan (24%), namun perbedaan proporsi ini tidak signifikan (p=0,884).
Kesimpulan: Proporsi depresi yang ditemukan dalam penelitian ini cukup tinggi dibandingkan dengan prevalensi depresi pada penelitian lain di dunia, sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk upaya penanggulangannya.
Karakteristik sensitivitas dan resistansi antibiotik pada kasus infeksi saluran kemih escherichia coli di rumah sakit tersier di bali pada januari 2019 hingga desember 2019
I Ketut Agus Indra Adhiputra, Setiabudy M, Sukrama IDM, Budayanti NNSOnline First: Sep 10, 2021
- Abstract
Karakteristik sensitivitas dan resistansi antibiotik pada kasus infeksi saluran kemih escherichia coli di rumah sakit tersier di bali pada januari 2019 hingga desember 2019
Escherichia coli (E. coli) is the most common cause of Urinary Tract Infections (UTI). E. coli UTI has become difficult to treat because of its increasing resistance characteristics pattern to antimicrobial agents, especially to empirical therapy such as Ciprofloxacin. Aminoglycosides, such as amikacin can be given for E. coli UTI. The objective of this study was to determine the sensitivity characteristics pattern of E. coli to several antimicrobial agents, especially amikacin. This descriptive cross-sectional study were performed at Sanglah Hospital, a tertiary Hospital in Denpasar, Bali, with a period of 12 months, from January 2019 until December 2019. All urine culture with positive result of Escherichia coli were included in this study. All urine specimen were examine using bioMérieux VITEK® 2 System. A total of 317 urine isolates met the inclusion criteria. Extended spectrum beta lactamase (ESBLs) positive E. coli were found from 167 isolates (52.7%). The urine E. coli isolates were mostly found in hospital setting (70.7%), adult (85.5%), and in female patients (59.3%). The most sensitive antibiotic in this study is Amikacin (98.4%) followed by Fosfomycin (95%) and Nitrofurantoin (89.9%). The least sensitive antibiotic is Ampicillin (9.5%) followed by Ciprofloxacin (24.9%) and Cotrimoxazole (34.7%). From this study, it is observed that sensitivity rate of E. coli UTI to Ampicillin, Ciprofloxacin, and Cotrimoxazole is very low and the use of these antimicrobial agents as empirical therapy should be reconsidered. Based on the sensitivity characteristics of E. coli UTI, Amikacin should be considered as empirical therapy for tertiary hospital, along with Fosfomycin and Nitrofurantoin.
Escherichia coli (E.coli) merupakan penyebab tersering dari Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK yang disebabkan oleh E.coli menjadi semakin sulit untuk diterapi karena meningkatnya karakteristik resistansi E.coli terhadap berbagai jenis agen antimikroba, terutama terhadap terapi empiris seperti ciprofloxacin. Aminoglikosida, seperti amikasin dapat diberikan sebagai terapi terhadap ISK yang disebabkan oleh E.coli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik dan pola sensitivitas antibiotik dari E.coli terhadap beberapa jenis agen antimikroba, terutama amikasin. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali, yang juga merupakan rumah sakit rujukan tingkat tiga. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data selama 12 bulan, yaitu dari bulan Januari 2019 hingga Desember 2019. Semua hasil kultur urine dengan hasil positif E.coli dimasukkan ke dalam penelitian ini. Semua spesimen urine diperiksa dengan menggunakan bioMérieux VITEK® 2 System. Sebanyak 317 isolat memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 167 isolat (52,7%) merupakan E. coli penghasil Extended spectrum beta lactamase (ESBLs). Isolat urine E. coli paling banyak ditemukan dari spesimen rawat inap (70,7%), dewasa (85,5%), dan pasien perempuan (59,3%). Antibiotik yang paling sensitif adalah Amikasin (98,4%) diikuti oleh Fosfomycin (95%), dan Nitrofurantoin (89,9%). Antibiotik dengan tingkat sensitivitas terendah adalah Ampisilin (9,5%), diikuti oleh Ciprofloxacin (24,9%), dan Cotrimoxazole (34,7%). Dari penelitian ini, ditemukan bahwa angka sensitivitas dari ISK E.coli terhadap Ampisilin, Ciprofloxacin, dan Cotrimoxazole sangatlah rendah, sehingga penggunaan antibiotik tersebut sebagai terapi empiris harus dipertimbangkan kembali. Berdasarkan karakteristik sensitivitas dari ISK E.coli, Amikasin sebaiknya dipertimbangkan sebagai terapi empiris pada rumah sakit rujukan tingkat tiga, begitu pula dengan Fosfomycin dan Nitrofurantoin.
Kombinasi Parasetamol dan Ibuprofen Untuk Nyeri Punggung Bawah Akut: Sebuah Tinjauan Sistematik Mini
Putu Eka Widyadharma, Eric Hartono Tedyanto, Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi, I Made Oka Adnyana, Dewa Putu Gde Purwa SamatraOnline First: Sep 1, 2021
- Abstract
Kombinasi Parasetamol dan Ibuprofen Untuk Nyeri Punggung Bawah Akut: Sebuah Tinjauan Sistematik Mini
Latar Belakang: Nyeri punggung bawah merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling umum terjadi, dengan prevalensi secara global sekitar 38,9%. Konsep politerapi untuk analgesik sering digunakan dalam terapi nyeri. Hal ini berarti menambahkan satu jenis obat lain yang memiliki efek tambahan atau sinergisitas dengan obat anti nyeri yang utama, dengan meminimalisasi efek samping dari obat.
Metode: Kami melakukan pencarian secara sistematik melalui PubMed dan Embase sesuai dengan protokol yang telah dibuat oleh PRISMA dalam melakukan tinjauan sistematik. Satu orang peninjau mengambil data dari artikel yang telah terpilih. Data yang akan diambil adalah populasi studi, desain studi, jenis intervensi yang dilakukan, variabel kontrol, dan hasil kesimpulan dari penelitian
Hasil: Kami menemukan 56 jurnal pada strategi pencarian kami. Pada akhirnya, terdapat 2 studi yang memenuhi kriteria kelayakan dan dimuat dalam tinjauan sistematik ini. Kedua studi menyatakan bahwa penggunaan kombinasi parasetamol dan ibuprofen (OAINS) memiliki efek yang lebih superior dibanding monoterapi.
Kesimpulan: Kombinasi parasetamol dan ibuprofen dapat dipertimbangkan untuk diberikan sebagai terapi anti nyeri pada nyeri punggung bawah akut mengingat efek anti nyeri yang bagus dan efek samping yang minimal.
Tinjauan pustaka: respon imunologi pada dermatitis kontak iritan
Luh Made Shanti Maheswari, Putu Ayu Dewita Ganeswari, Made WardhanaOnline First: Sep 20, 2021
- Abstract
Tinjauan pustaka: respon imunologi pada dermatitis kontak iritan
Background: Dermatitis is an inflammation of the epidermis and dermis associated with physical or immunological provocation. About 80% of contact dermatitis is irritant contact dermatitis. According to the British Association of Dermatologists, 4% to 7% of dermatologists consult with contact dermatitis. Data in Indonesia shows that 97% of 389 cases were contact dermatitis and 66.3% of them were irritant contact dermatitis.
Methods: This literature review included 28 relevant literature from 2002 to 2019 regarding the immunological response to irritant contact dermatitis. Different data sources and methods of manual literature search were used to find articles related to literature review topics.
Results: Dermatitis presents as spongiosis histologically, there is impaired function of the skin barrier, leading to increased transepidermal water loss. Irritant Contact Dermatitis (DKI) is a skin response to the physical and toxic effects of various environmental exposures which will directly cause the release of inflammatory mediators, especially from epidermal and dermal cells. Keratinocytes play a major role in the production of immune mediators in DKI. Disruption of the skin barrier results in the release of pre-formed IL-1α. Activation of IL-1α is further thought to stimulate further production of proinflammatory cytokines and chemokines such as IL-1β, TNF-α, IL-6, and CXCL8 (IL-8) by the epidermal cells and surrounding skin.
Conclusion: Irritant contact dermatitis is a non-specific inflammatory dermatitis caused by activation of the innate immune system by the pro-inflammatory properties of chemicals.
Latar Belakang: Dermatitis merupakan peradangan pada epidermis dan dermis terkait dengan provokasi fisik atau imunologis. Sekitar 80% dermatitis kontak merupakan dermatitis kontak iritan. Menurut British Association of Dermatologists, 4% hingga 7% konsultasi dermatologis dengan dermatitis kontak. Data di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus merupakan dermatitis kontak dan 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan.
Metode: Tinjauan Pustaka ini melibatkan 28 literatur yang relevan dari tahun 2002 sampai 2019 mengenai respon imunologi pada dermatitis kontak iritan. Sumber data yang berbeda maupun metode dalam pencarian literatur secara manual dipergunakan untuk menemukan artikel yang berhubungan dengan topik tinjauan pustaka.
Hasil: Dermatitis muncul sebagai spongiosis secara histologis, terdapat gangguan fungsi barrier kulit, yang menyebabkan peningkatan kehilangan air transepidermal. Dermatitis Kontak Iritan (DKI) adalah suatu respon kulit terhadap efek fisik maupun toksik dari berbagai paparan lingkungan yang secara langsung akan menyebabkan pelepasan mediator peradangan terutama dari sel-sel epidermis dan dermis. Keratinosit memainkan peran utama dalam produksi mediator imun pada DKI. Gangguan pada barrier kulit menyebabkan pelepasan IL-1α. Aktivasi IL-1α selanjutnya dianggap merangsang produksi lebih lanjut sitokin dan kemokin proinflamatori seperti IL-1β, TNF- α, IL-6, dan CXCL8 (IL-8) oleh sel-sel epidermis dan kulit di sekitarnya.
Kesimpulan: Dermatitis kontak iritan adalah dermatitis inflamasi non-spesifik yang disebabkan oleh aktivasi sistem imun bawaan oleh sifat pro-inflamasi bahan kimia.
Laporan Kasus : Penanganan Fibrilasi Atrium Perioperatif
Roy Lizal, I Wayan SuranadiOnline First: Oct 5, 2021
- Abstract
Laporan Kasus : Penanganan Fibrilasi Atrium Perioperatif
Atrial fibrillation (AF) is the commonest cardiac arrhythmia; its incidence increases with age. Diabetes mellitus, hypertension and ventricular hypertrophy are commonly associated with non-valvular atrial fibrillation. Primary aims of management of AF are conversion to sinus rhythm, maintenance of sinus rhythm and prevention of thromboembolic complications. In elderly patients who are asymptomatic, adequate rate control of AF appears to offer the same benefits as rhythm control. Chronic AF carries a high risk of ischaemic stroke from thromboembolism; all patients at risk must receive adequate anticoagulation. Anticoagulation should be continued in patients with risk factors despite successful conversion to sinus rhythm.
Fibrilasi atrium adalah aritmia jantung yang paling sering dijumpai. Kejadian fibrilasi atrium meningkat seiring bertambahnya usia. Diabetes mellitus, hipertensi, dan hipertrofi ventrikel biasanya dikaitkan dengan fibrilasi atrium non-katup. Tujuan utama penatalaksanaan fibrilasi atrium adalah konversi ke irama sinus, pemeliharaan irama sinus, dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Pada pasien usia lanjut yang asimptomatik, kontrol denyut nadi yang baik memberikan manfaat yang sama seperti kontrol ritme. Fibrilasi atrium kronis beresiko tinggi menimbulkan stroke iskemik akibat tromboemboli. Semua pasien yang berisiko harus menerima antikoagulan yang adekuat. Antikoagulan harus dilanjutkan pada pasien dengan faktor risiko meskipun telah dilakukan konversi menjadi irama sinus. Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien dengan fibrilasi atrium yang akan menjalani operasi dekompresi stabilisasi fusi.
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada neonatus: Sebuah laporan kasus
Jade Irene Linardi, Made Ratna DewiOnline First: Sep 20, 2021
- Abstract
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada neonatus: Sebuah laporan kasus
Vitamin K deficiency bleeding (VKDB), previously called hemorrhagic disease of the newborn (HDN), is one of the causes of bleeding in newborn. Incidence of VKDB case were varied depends on the category. The bleeding manifestations were diverse from skin bleeding to intracranial bleeding. Vitamin K deficiency bleeding could be anticipated by providing newborn a vitamin K prophylaxis. In Indonesia, administration of vitamin K as prophylaxis has become a protocol for all newborn. However, we encountered a VKDB case in newborn who already got vitamin K prophylaxis. In this report we present the case of a female newborn, present with gastrointestinal tract bleeding at 14 hours of age. The newborn looked well and active. She was born through a caesarean section and already got vitamin K prophylaxis. The bleeding caused anemia with disturbance in coagulation system. The newborn then got vitamin K injection and blood transfusion. After treatment, she recovered well and discharged from hospital. Although VKDB in newborn is a rare case, clinicians must be capable in diagnosing the case in order to provide the proper treatments.
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK), yang dahulu dikenal dengan nama hemorrhagic disease of the newborn (HDN), merupakan salah satu penyebab perdarahan pada masa neonatus. Insiden PDVK bervariasi tergantung kategori onsetnya. Manifestasi yang didapatkan juga bervariasi, yaitu perdarahan di kulit hingga perdarahan intrakranial. Kejadian PDVK dapat dicegah dengan pemberian vitamin K profilaksis. Di Indonesia, pemberian vitamin K profilaksis telah diterapkan sebagai protokol bagi seluruh bayi baru lahir. Namun, kami menemukan sebuah kasus PDVK pada bayi yang sudah mendapatkan profilaksis tersebut. Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus bayi perempuan berusia 14 jam mengalami perdarahan gastrointestinal. Bayi tersebut tampak aktif, yang lahir secara seksio sesarea dan sudah mendapatkan vitamin K profilaksis saat lahir. Akibat perdarahan tersebut bayi mengalami anemia dengan gangguan koagulasi. Selama perawatan bayi diberikan injeksi vitamin K dan transfusi darah. Setelah diterapi bayi menunjukkan perbaikan sehingga dapat dipulangkan. Meskipun kasus PDVK merupakan kasus yang jarang ditemukan, klinisi diharapkan mampu mendiagnosis kasus tersebut agar dapat memberikan tatalaksana yang sesuai.
Gelembung udara besar pada abdomen neonatus: Sebuah kasus kista koledokus
Putri Suastari, Ni Nyoman Margiani, Pande Putu Yuli AnandasariOnline First: Sep 20, 2021
- Abstract
Gelembung udara besar pada abdomen neonatus: Sebuah kasus kista koledokus
Choledochal cyst are rare cystic dilatations of the biliary tree. A baby girl, 0 days with an enlarged abdomen, palpable mass and jaundice from birth. Laboratory investigations have shown improvement in liver function. X-rays, abdominal ultrasonography and CT scan revealed type I choledochal cyst. Biopsy result shown supporting the diagnosis of choledochal cysts with fibrotic tissue in the port area. Cyst excision and biliary repair have been performed with the patient's clinical improvement. Choledochal cyst were usually diagnosed in childhood with first decade of life. This abnormality primarily affects girls. In addition to this, radiological examination guide for a detailed examination in order to verify the diagnosis. In view of the high risk of cholangiocarcinoma, early diagnose of the choledochal cyst had an important rule to decrease morbidity and mortality through radiological imaging techniques.
Kista koledokus adalah dilatasi kistik yang jarang dari sistem bilier. Seorang bayi perempuan, 0 hari dengan perut membesar, teraba massa dan ikterus sejak lahir. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan fungsi hati. Sinar-X, ultrasonografi dan CT scan abdomen menunjukkan dilatasi duktus koledokus tipe I. Hasil biopsi mendukung diagnosis kista koledokus dengan jaringan fibrotik di daerah porta. Eksisi kista dan rekonstruksi bilier telah dilakukan dengan hasil perbaikan klinis pasien. Kista koledokus biasanya didiagnosis pada dekade pertama kehidupan. Kelainan kongenital ini terutama menyerang anak perempuan. Selain itu, pemeriksaan radiologi dapat membantu untuk pemeriksaan secara rinci untuk menegakkan diagnosis. Mengingat tingginya risiko kolangiokarsinoma, diagnosis dini kista koledokus memiliki peranan penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas melalui teknik pencitraan radiologi.
Managemen Perioperatif pada Atresia Esofagus Tipe C
MR Lingga Riesta Armyda, I Putu KurniyantaOnline First: Oct 18, 2021
- Abstract
Managemen Perioperatif pada Atresia Esofagus Tipe C
Esophageal atresia is defined as a congenital abnormality in the form of discontinuity in the esophageal lumen. Esophageal atresia can be accompanied by tracheoesophageal fistula, which is the lumen that connects the proximal and/or distal parts of the esophagus with the trachea. Diagnosis of esophageal atresia should be made as early as possible to minimize pulmonary complications. It could be confirmed in either prenatal or postnatal periods. Prenatal diagnosis can be made by ultrasound examination during pregnancy. The postnatal diagnosis of esophageal atresia can be made when there is a difficulty or inability of the nasogastric or orogastric tube to pass through the esophagus. In this case, a newborn girl with type C esophageal atresia and anorectal malformation without a fistula underwent a thoracotomy and repair fistula under general anesthesia. The management of anesthesia will focus primarily on the ventilation of the lungs without ventilation of the fistula. The anesthesia technique used includes awake tracheal intubation and avoiding the use of muscle relaxants and excessive positive ventilation pressure until the fistula is identified and controlled. The goal of the surgical procedure was to separate the fistula and close it on the side of the trachea and connect the ends of the esophageal segment.
Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan trakea. Diagnosis atresia esofagus sebaiknya ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan komplikasi paru, dapat ditegakkan baik pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi pada ibu. Diagnosis postnatal atresia esofagus dapat dibuat ketika terjadi kesulitan atau ketidakmampuan selang nasogastrik atau orogastrik melewati esofagus. Kasus Bayi Perempuan baru lahir dengan diagnosis Atresia esophagus tipe C dan malformasi anorectal tanpa fistel akan dilakukan tindakan Thorakotomi dan Repair Fistel dengan pembiusan umum. Penatalaksanaan anesthesia akan memberikan fokus utama pada ventilasi paru tanpa ventilasi dari fistula. Teknik anestesia yang digunakan meliputi awake tracheal intubation dan menghindari penggunaan pelumpuh otot serta tekanan ventilasi positif yang berlebihan hingga fistula yang ada dapat diidentifikasi dan dikendalikan. Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan fistula dan menutupnya pada sisi trakea serta menyambung ujung-ujung segmen esofagus.