Vol. 51 No. 1 (2020)
Ketahanan hidup 1 tahun karsinoma paru di divisi Pulmonologi RSUP Sanglah Denpasar
Ariska Megasari, Made BagiadaOnline First: Jan 9, 2020
- Abstract
Ketahanan hidup 1 tahun karsinoma paru di divisi Pulmonologi RSUP Sanglah Denpasar
Introduction: Lung cancer is still the leading cause of death because of cancer in the world. Lung cancer has a bad prognosis compared with other cancer type related with low survival rate. Improvement in lung cancer management did not improve the survival rate of lung cancer significantly because majority of patient diagnosed in advanced stage. The aim of this study was to know the one-year survival rate of lung cancer and factors that influence one-year survival rate of lung cancer.
Method: This study is retrospective study by collecting data of lung cancer patient cared by pulmonology division of Sanglah Hospital since July 2014 until August 2015. The variable measured was the outcome of the patient (live or dead) in one year since diagnosis. Data collected from medical record or by telephone. Survival analysis was used by Kaplan Meier product limit method. Log rank test was used to know the difference between subvariables.
Result: This study enrolled 19 patients composed of 11 male patients and 8 female patients. The mean age of the sample was 54 years old. Histologic type dominantly was adenocarcinoma (16 patients). Comorbid condition was found in 4 patients. Most of the patient were in stage IV (15 patients). The one year survival probability in this study was 36.8% with median survival time in the 12th month.
Discussion: No significant one-year survival rate difference according to sex, age, stage, histopathologic type and comorbids. The one-year survival rate of lung cancer in the advanced stage is still low and there were no difference according to sex, age, stage, histopathologic type and comorbids.
Â
Pendahuluan: Kanker paru merupakan salah satu penyebab utama kematian karena keganasan di dunia. Kanker paru mempunyai prognosis yang buruk dibandingkan dengan kanker jenis lain karena rendahnya angka ketahanan hidup. Kemajuan dalam penatalaksanaan kanker paru tidak signifikan meningkatkan angka ketahanan hidup pasien karena mayoritas pasien didiagnosis pada stadium lanjut. Studi ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan hidup 1 tahun pasien kanker paru serta untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan hidup 1 tahun kanker paru.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan mengumpulkan data tentang keadaan penderita kanker paru yang pernah dirawat di paru RSUP Sanglah Denpasar sejak Juli 2014 sampai Agustus 2015. Sampel dinilai keluaran pasien (meninggal/ hidup) dalam 1 tahun sejak terdiagnosis kanker paru. Data didapat dari rekam medis atau melalui telepon. Analisis kesintasan digunakan dengan metode Kaplan-Meier product limit. Log-rank test digunakan untuk mengetahui perbedaan antara subvariabel.
Hasil: Jumlah sampel sebanyak 19 orang dengan lelaki sebanyak 11 orang dan perempuan 8 orang. Rerata usia 54 tahun. Jenis histopatologi terbanyak adalah adenokarsinoma (16 pasien). Komorbid didapatkan pada 4 pasien. Sebagian besar (15 pasien) berada pada stadium IV. Probabilitas ketahanan hidup 1 tahun adalah 36.8% dengan median waktu ketahanan pada bulan ke-12.
Diskusi: Tidak terdapat perbedaan signifikan probabilitas ketahanan hidup 1 tahun berdasarkan jenis kelamin, umur, stadium, jenis histopatologi dan komorbid. Ketahanan hidup 1 tahun penderita kanker paru stadium lanjut masih rendah dan tidak didapatkan perbedaan berdasarkan jenis kelamin, umur, stadium, jenis histopatologi dan komorbid.
Profil pasien gangguan neurokognitif di RSUP Sanglah Denpasar
Putri Eka Pradnyaning, Ketut Widyastuti, A.A.A. Putri Laksmidewi, I Made Oka AdnyanaOnline First: Jan 2, 2020
- Abstract
Profil pasien gangguan neurokognitif di RSUP Sanglah Denpasar
Introduction: Cognitive is mental activity performed by human consciously, and the impairment could be evaluated objectively by several diagnostic tools. Neurocognitive disorders are no longer considered as part of ageing only, but also caused by brain focal lesion or other vascular diseases. Thus neurocognitive disorders can be found in any level of age with their own characteristics. Objective of this study was to determine the prevalence and profile of neurocognitive disorders in Sanglah Hospital Denpasar year 2016 until 2017, based on demographic, underlying diseases, risk factors and cognitive domain disturbed.
Method: Method of this study was a descriptive cross sectional study measured 163 neurocognitive disorders patients. We collected data from the medical record, and analyze the data.
Result: Result of this study was the highest neurocognitive disorders group were middle-aged adult (46.6%), male (65.6%), senior high school graduate (34.4%), unemployed (31.3%). Domain disturbed were memory (80.4%), executive (41.7%), language (23.3%), visuospatial (22.7%). Comorbidities and risk factors were stroke (62%), epilepsy (11%), CNS tumor (11%), CNS infection (9.2%), hypertension (54.6%), diabetes mellitus (17.2%), dyslipidemia (19%), coronary heart disease (11.7%), smoking (20.9%), and alcohol consumption (5.5%).
Conclusion: The occurance rate of inpatient with neurocognitive disorder in Sanglah Hospital is 8.81%. Males, between 41- 60 years old, senior high school graduates, and unemployment were dominating neurocognitive disorders in Sanglah Hospital. Memory disturbance was the most neurocognitive disorders found, and post-stroke neurocognitive disorder was the number one cause.
Pendahuluan: Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental yang dilakukan secara sadar, dan gangguannya dapat diukur secara objektif menggunakan alat diagnosis baku. Gangguan neurokognitif tidak lagi hanya dihubungkan dengan proses penuaan, tetapi juga dihubungkan dengan lesi fokal otak atau faktor risiko vaskular lainnya. Hal ini menyebabkan gangguan neurokognitif yang dapat dijumpai di setiap tingkatan usia dengan karakteristik tersendiri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi dan profil pasien dengan gangguan neurokognitif di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016 hingga 2017 berdasarkan demografis, penyakit dasar, faktor risiko, dan domain kognitif yang terganggu.
Bahan dan Metode: Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang terhadap 163 pasien gangguan neurokognitif yang diambil dari rekam medis pasien untuk dinilai karakteristiknya.
Hasil: Hasil penelitian ini adalah angka kejadian gangguan neurokogitif pada pasien yang dirawat inap di RSUP Sanglah sebesar 8.81% dengan distribusi terbanyak pada kelompok usia dewasa madya (46,6%), lelaki (65,6%), pendidikan SMA (34,4%), dan tidak bekerja (31,3%). Domain yang terganggu adalah memori (80,4%), eksekutif (41,7%), bahasa (23,3%), visuospasial (22,7%). Komorbiditas dan faktor risiko gangguan neurokognitif adalah stroke (62%), epilepsi (11%), tumor SSP (11%), infeksi SSP (9,2%), hipertensi (54.6%), diabetes mellitus (17,2%), dislipidemia (19%), penyakit jantung koroner (11,7%), merokok (20,9%), dan konsumsi alkohol (5,5%).
Kesimpulan:Â Gangguan neurokognitif di RSUP Sanglah paling banyak didapatkan pada lelaki, rentang usia 41-60 tahun, berpendidikan SMA, dan tidak bekerja. Domain neurokognitif paling banyak terganggu adalah memori, dengan penyebab terbesar adalah gangguan neurokognitif akibat penyakit vaskular terutama pasca-stroke.
Hubungan antara hiperurisemia dan kejadian infark miokardial dengan elevasi segmen ST di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Karina Anindita, I Ketut SuryanaOnline First: Jan 10, 2020
- Abstract
Hubungan antara hiperurisemia dan kejadian infark miokardial dengan elevasi segmen ST di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Introduction: Hyperuricemia is common among patients with STEMI. There is relation between uric acid serum with endothelial dysfunction, inflammation, high oxidative stress and platelet aggregation which are risk factors in STEMI. Currently there’s no evidence of direct relation between hyperuricemia and STEMI. The aim of this study was to investigate the relation between hyperuricemia and STEMI in Sanglah General Hospital Emergency Care Unit Denpasar.
Method: The hospital based, analytic cross-sectional study was conducted among patients with acute myocardial infarction in 2012.
Result: This study enrolled 61 patients, consist of 49 (80,3%) male and 12 (19,7%) female. The median of age was 57 year old. 22 (44,9%) patients in male group and 5 (41,7%) patients in female group got hyperuricemia. STEMI was diagnosed in 41 (83,7%) patients in male group and 10 (83,3%) patients in female group.
Conclusion: There was no relation betweenhyperuricemia and STEMI event in Sanglah General Hospital Denpasar.
Pendahuluan: Hiperurisemia seringkali dijumpai pada pasien dengan infark miokardial akut khususnya golongan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Terdapat hubungan antara kadar asam urat serum dengan disfungsi endotelial, inflamasi, sress oksidatif yang tinggi, dan agregasi trombosit yang merupakan faktor risiko terjadinya STEMI. Namun saat ini belum terdapat bukti adanya hubungan langsung antara hiperurisemia dengan STEMI. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hiperurisemia dengan kejadian STEMI di RSUP Sanglah Denpasar.
Bahan dan Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang analitik terhadap seluruh pasien yang mengalami infark miokardial akut yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah pada tahun 2012.
Hasil: Studi ini melibatkan 61 pasien dengan 49 (80,3%) orang lelaki dan 12 (19,7%) perempuan dengan median umur 57 tahun. Hiperurisemia didapatkan 22 orang (44,9%) pada kelompok lelaki dan 5 orang (41,7%) pada kelompok perempuan. Diagnosa STEMI ditegakkan 41 orang (83,7%) dari kelompok lelaki dan 10 orang (83,3%) dari kelompok perempuan.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara hiperurisemia dengan kejadian STEMI di RSUP Sanglah Denpasar.
Hubungan tipe pemberian nutrisi dengan luaran pasien dan lama rawat pasien acute respiratory distress syndrome yang dirawat di unit perawatan intensif anak rsup sanglah
Bagus Ngurah Mahakrishna, Dyah Kanya Wati, I Nyoman Budi Hartawan, Ida Bagus Gede SuparyathaOnline First: Jan 10, 2020
- Abstract
Hubungan tipe pemberian nutrisi dengan luaran pasien dan lama rawat pasien acute respiratory distress syndrome yang dirawat di unit perawatan intensif anak rsup sanglah
Introduction: Early enteral nutrition has been suggested to reduce hypercatabolic condition, reduce the activation and the release of inflammatory cytokines, also decrease hospital length of stay compared with parenteral nutrition. The aim of this research was to investigate the association between nutritional selection with outcome and length of stay patients with acute respiratory distress syndrome in Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Sanglah Hospital.
Method: It was a prospective cohort study by involving 60 patients with ARDS in PICU Sanglah Hospital. We studied characteristics and outcomes of 2 groups of patients: those who received early enteral nutrition, and parenteral nutrition. Outcomes of interest were mortality, and length of stay.
Result: A total of 60 patients with ARDS were enrolled, with 29 patients received parenteral nutrition, and 31 patients received enteral nutrition. Total 29 patients who received parenteral nutrition <48 hours, 18 (62.1%) patients passed away, and survived 11 (37.9%), with 95% CI 2.444-37.873; p value=<0.001. Total 21 patients who received enteral nutrition <48 hours, 2 (6.5%) passed away and survived 29 (93.5%).
Conclusion: The incidence of mortality on parenteral nutrition was 9.6 times higher than enteral nutrition.
Pendahuluan: Pemberian nutrisi enteral pada pasien dengan ARDS yang lebih cepat dapat menurunkan kondisi hiperkatabolisme, mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi, dan menurunkan durasi lama rawat pasien dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan tipe pemberian nutrisi dengan luaran pasien dan lama rawat pasien ARDS yang dirawat di UPIA RSUP Sanglah.
Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan kohort prospektif dengan melibatkan 60 anak dengan ARDS yang dirawat di UPIA RSUP Sanglah. Subyek penelitian dibagi menjadi 2, yaitu kelompok yang mendapatkan nutrisi enteral dan nutrisi parenteral. Waktu pemberian nutrisi enteral dan parenteral dilihat <48 jam saat subyek terdiagnosis ARDS.
Hasil: Total 60 pasien ARDS diikutsertakan dalam penelitian, dengan 29 pasien mendapatkan nutrisi parenteral dan 31 pasien mendapatkan nutrisi enteral. Angka kematian pada kelompok yang mendapatkan nutrisi parenteral <48 jam sebesar 18 orang (62,1%) dan hidup 11 orang (37,9%), dengan IK 95% 2,444-37,873; nilai p=<0,001. Angka kematian pada kelompok yang mendapatkan nutrisi enteral <48 jam sebesar orang 2 (6,5%) dan hidup 29 orang (93,5%).
Kesimpulan: Angka kematian pada kelompok yang mendapatkan nutrisi parenteral 9,6 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok yang mendapatkan nutrisi enteral.
Kadar serotonin serum yang rendah merupakan factor resiko terjadinya eritema nodusum leprosum
Erick Thungady, Luh Made Mas Rusyati, IGAA PraharsiniOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Kadar serotonin serum yang rendah merupakan factor resiko terjadinya eritema nodusum leprosum
Background: Type 2 reactions or erythema nodosum leprosum is one of the serious complications of morbus hansen that occurs in patients with poor cellular immunity to Mycobacterium leprae. There are several factors considered to cause ENL such as lepromatous leprosy, patients who have received antileprosy treatment, bacterial index of more than +4, other infections such as Streptococcus, age less than 40 years, pregnancy, trauma or surgery, physical and mental stress. Physical and mental stress. Serotonin is a neurotransmitter that can decrease in a state of mental stress. This study aims to prove that low serum serotonin levels are a risk factor for erythema nodosum leprosum in morbus hansen patients.
Method: This study was a case control study conducted at the Dermatovenereology Polyclinic of Sanglah Hospital Denpasar which involved 25 subjects of erythema nodosum leprosum and 25 subjects not erythema nodosum leprosum that fulfilled the inclusion and exclusion criteria, performed venous blood sampling as material examination serotonin serum level with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) technique. The collected data was analyzed using SPSS version 21.0 with Pearson Chi Square test to obtain Odds Ratio.
Results: This study showed that serum serotonin levels in the case group were significantly lower than the control group (p<0.05). Odds ratio for serum serotonin was 12.67 (95% CI=3.308-48.504; p<0.001).
Conclusion: In this study it can be concluded that low serum serotonin levels are risk factors for erythema nodosum leprosum.
Latar Belakang: Reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum adalah salah satu komplikasi morbus hansen yang serius yang terjadi pada penderita dengan imunitas seluler yang buruk terhadap Mycobacterium leprae. Terdapat beberapa faktor yang dianggap dapat mencetuskan ENL antara lain kusta lepromatosa, pasien yang telah mendapatkan pengobatan antikusta, indeks bakteri lebih dari +4, infeksi lain seperti Streptokokus, usia kurang dari 40 tahun, kehamilan, trauma atau pembedahan, stres fisik dan mental. Serotonin merupakan suatu neurotransmiter yang dapat menurun pada keadaan stres mental. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa bahwa kadar serotonin serum yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya eritema nodosum leprosum pada pasien morbus hansen.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian case control study yang dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar yang melibatkan 25 subyek eritema nodosum leprosum dan 25 subyek bukan eritema nodosum leprosum yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dilakukan pengambilan darah vena sebagai pemeriksaan kadar serotonin serum menggunakan teknik enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SPSS versi 21.0 dengan uji Pearson Chi Square untuk mendapatkan Odds Ratio.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar serotonin serum pada kelompok kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Odds ratio untuk serotonin serum adalah 12,67 (95% CI=3,308-48,504, p<0,001).
Kesimpulan: Pada penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar serotonin serum yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya eritema nodosum leprosum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penambahan lesi intrakranial pada pasien cedera kepala di RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017
Anak Agung Putu Bajra Wirawan, Nyoman Golden, I Wayana NiryanaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Faktor-faktor yang mempengaruhi penambahan lesi intrakranial pada pasien cedera kepala di RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017
Introduction: Head injury patients who are undergoing treatment can experience worsening due to an increase in the size of the head injury lesion. To reduce the number death that can be prevented, early detection is needed about the process of space occupying lesion that requires surgery. Therefore, identifying the factor that could affect the occurrence of an acute lesion are needed. Also, patients with head injuries require early diagnosis (early detection) of factors that worsen, so that appropriate, accurate and systematic actions and therapies can be carried out immediately to produce a good prognosis.
Methods: This study used a retrospective cohort design of 50 samples to determine risk factors for the occurrence of increase intracranial lesions to head injury patients treated at Sanglah General Hospital period January-December 2017.
Results: Risk factors that most influence the addition of intracranial lesions in head injury patients are age (p<0.000; RR: 275; CI 95% 23.31-3244.30), initial GCS (p=0.164; RR: 5; CI 95 % 0.51-48.34), hypoxia (p=0.014; RR: 15; CI 95% 1.72-130.44), coagulopathy (p=0.022; RR: 5.4; CI 95% 1.28-23.37), fracture (p=0.006; RR: 5.8; CI 95% 1.65-20.91), and early CT scan lesion (p<0.001; RR: 16.5; CI 95% 4.028-67.596).
Conclusion: Age over 60 years, <90% hypoxia saturation, coagulopathy, cranial base fracture and ICH & SDH lesions on initial CT scan are independent risk factors for the addition of intracranial lesions in head injury patients.
Â
Latar Belakang: pasien cedera kepala yang sedang dalam perawatan dapat mengalami perburukan yang disebabkan oleh penambahan ukuran lesi cedera kepala. Untuk menurunkan angka kasus kematian yang dapat dicegah, diperlukan deteksi dini tentang adanya proses desak ruang yang memerlukan tindakan operasi. Maka dari itu dibutuhkan faktor-faktor yang dapat mengidentifikasi terjadinya penambahan suatu lesi akut. Selain itu pasien dengan cidera kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin (deteksi dini) dari faktor-faktor yang memperburuk, agar tindakan dan terapi yang tepat, akurat dan sistematis dapat segera dilakukan supaya menghasilkan prognosis yang baik.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cohort retrospektif terhadap 50 sampel untuk mengetahui faktor resiko penambahan lesiintrakranial pada pasien cedera kepala yang dirawat di RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017.
Hasil: Faktor-faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya penambahan lesi intrakranial pada pasien cedera kepala adalah usia (p<0.001; RR: 275; KI 95% 23,31-3244,30), GCS awal (p=0,164; RR: 5; KI 95% 0,51-48,34), Hipoksia (p=0,014; RR: 15; KI 95% 1,72-130,44), koagulopati (p=0,022; RR: 5,4; KI 95% 1,28- 23,37), fraktur (p=0,006; RR: 5,8; KI 95% 1,65-20,91), dan lesi CT scan awal (p<0,001; RR: 16,5; KI 95% 4,028-67,596).
Simpulan: Umur lebih dari 60 tahun, hipoksia saturasi < 90%, koagulopati, fraktur basis cranii dan lesi ICH & SDH pada CT scan awal merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya penambahan lesi intrakranial pada pasien cedera kepala.
Akurasi diagnostik radiografi konvensional pada kasus benda asing dalam esofagus di RSUP Sanglah Denpasar
iga dwi susantini, I Wayan SuciptaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Akurasi diagnostik radiografi konvensional pada kasus benda asing dalam esofagus di RSUP Sanglah Denpasar
Background: Foreign bodies in esophagus is one of the common emergency. Diagnosis of patient with foreign body in esophagus based on the suspicious history, physical examination and radiologic findings. Conventional radiography is the initial imaging method used for patient with suspected foreign bodies in esophagus. Antero-posterior and lateral cervical and chest radiographs are basic radiological methods of foreign bodies detection. The objective of the study is to determine the diagnostic accuracy of conventional radiography in the diagnosis of foreign bodies in esophagus keeping esophagoscopy as the gold standard.
Method: This descriptive study was conducted at department of otorhinolaryngology-head and neck department Sanglah Hospital from January 2014 to December 2018. Diagnostic accuracy ofconventional radiography was detected by determining sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy.
Result: A total 95 patient were included in this study and all the patients had plain radiography and then followed by esophagoscopy (gold standard). The sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy of conventional radiography in the diagnosis foreign body in esophagus were 92.2%, 83.3%, 95.9%, 71,4% and 86,9%.
Conclusion: Conventional radiography is reliable investigation and should be advised among all the patients with history of foreign body ingestion.
Â
Latar Belakang: Benda asing di esofagus merupakan salah satu kegawatdaruratan yang sering dijumpai. Riwayat tertelan benda asing, temuan klinis dan pemeriksaan penunjang sangat diperlukan dalam mendiagnosis kasus benda asing di esofagus. Pemeriksaan radiografi konvensional merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang dapat dilakukan dalam menilai adanya kecurigaan benda asing di esofagus. Pemeriksaan radiografi yang dikerjakan yakni foto polos servikal-torakal anteroposterior dan lateral. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akurasi diagnostik dari pemeriksaan radiografi konvensional dalam mendiagnosis benda asing di esofagus, dimana esofagoskopi sebagai gold standard.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif. Sampel penelitian adalah semua pasien yang dicurigai tertelan benda asing dan dilakukan pemeriksaan foto polos servikotorakal anteroposterior/lateral kemudian dilanjutkan dengan esofagoskopi (gold standard) di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014 sampai dengan Desember 2018. Akurasi diagnostik didapatkan berdasarkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan nilai akurasi.
Hasil: Total didapatkan sembilan puluh lima pasien memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan nilai akurasi dari pemeriksaan radiografi konvensional dalam mendiagnosis benda asing di esofagus didapatkan masing-masing yakni 92,2%, 83,3%, 95,9%, 71,4% dan 86,9%.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan radiografi konvensional cukup efektif digunakan dalam mendeteksi adanya benda asing di esofagus.
Perbedaan proporsi antara lokasi batu,skin-to-stone distance, kekerasan batu, ukuran batu pada computed tomography stonografi serta index massa tubuh dan fungsi ginjal dengan angka bebas batu pasca extracorporeal shock wave lithotripsy pada pasien batu gi
Yulandri Franeldo Uneputty, Gede Wirya Kusuma Duarsa, I Wayan Yudiana Yudiana, I Kadek Budi Santosa, Pande Made Wisnu Tirtayasa, Ida Bagus Putra Pramana, Tjok G.B Mahadewa Mahadewa, A.A. Gde OkaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Perbedaan proporsi antara lokasi batu,skin-to-stone distance, kekerasan batu, ukuran batu pada computed tomography stonografi serta index massa tubuh dan fungsi ginjal dengan angka bebas batu pasca extracorporeal shock wave lithotripsy pada pasien batu gi
Background: Kidney stones are a health problem that is still commonly found in the world. Along with the increasing incidence of kidney stones today, the choice of therapeutic modalities is also increasingly varied. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) is still the first line for the treatment of small kidney stones, with success rates varying. This can be influenced by several risk factors. A predictor of these risk factors is needed to get a high stone-free numbers from the therapy that will be used especially in ESWL. Objective of this study is to determine the differences in the proportion between risk factors related to stone free numbers in patients with kidney stones post ESWL so that more efficiency in time and financing in handling them.
Method: This observational a retrospective cohort study design, carried out through observing the patient’s medical records at the Medical Record Installation at the Sanglah Educational General Hospital in Denpasar. The study was conducted during the period from November 2018 to March 2019 and it was recorded that 41 kidney stone patients underwent ESWL, then divided into two groups: negative stone free numbers (n = 24) and positive stone free numbers (n = 17). From the data collected then traced through the patient medical record regarding the location of the stone, SSD or the distance between the skin to stone, stone hardness, stone size, which can be seen on CT Stonography and BMI and renal function through urine per 24 hours. After that, we do data analysis.
Result: The statistical results showed that the stone size has a value of p = 0.000 or <0.05, which means that it affects the stone-free number after undergoing ESWL and the PR value is 22.8, which means the chance for residuals in stone is ≥10mm, 22.8 times greater than on stones that are <10mm. There were no statistically significant differences in other risk factors, namely location (p = 0.434), SSD (p = 1.000), stone dencity (p = 0.098), BMI (p = 0.175). Multivariate statistical tests with logistic regression analysis showed that stone size is a statistically significant as a potential risk factor for stone free numbers (OR 0.003, p = 0.02).
Conclusion: The risk factors for stone size were found to be very significant in influencing stone free numbers in patients with kidney stones who will undergo ESWL, so that through the size of the stones we can determine the therapeutic modalities that we will give patients to be more precise, more time efficient and financing.
Latar Belakang: Batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang masih banyak ditemui di dunia. Seiring dengan meningkatnya insiden batu ginjal dewasa ini, pilihan modalitas terapi juga semakin bervariasi. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) masih menjadi lini pertama untuk terapi batu ginjal berukuran kecil, dengan angka keberhasilan bervariasi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Diperlukan suatu prediktor faktor-faktor risiko tersebut, untuk mendapatkan angka bebas batu yang tinggi dari terapi yang akan digunakan khususnya pada ESWL. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan proporsi antara faktor-faktor risik oyang berhubungan angka bebas batu pada pasien dengan batu ginjal pasca ESWL sehingga lebih efisiensi pada waktu dan pembiayaan dalam penanganannya.
Metode: Penelitian observasional dengan rancangan penelitian kohort retrospektif, dilakukan melalui pengamatan rekam medis pasien di Instalasi Rekam Medis di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama November 2018 sampai Maret 2019 dan telah tercatat 41 pasien batu ginjal telah menjalani ESWL, selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok: angka bebas batu negatif (n = 24) dan angka bebas batu positif (n = 17). Kemudian ditelusuri lewat rekam medis penderita mengenai lokasi batu, SSD atau jarak antara kulit ke batu, kekerasan batu, ukuran batu, yang dapat dilihat pada CT-stonografi serta IMT dan fungsi ginjal melalui urine 24 jam. Dilanjutkan dengan analisis data.
Hasil: Pada hasil statistik didapatkan ukuran batu mempunyai nilai p = 0.000 atau <0,05 yang artinya bermakna dalam mempengaruhi angka bebas batu setalah menjalani ESWL dan didapatkan nilai PR 22.8 yang artinya peluang untuk residual pada batu ukuran ≥10mm, lebih besar 22.8 kali dari pada batu yang ukuran <10mm. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada faktor-faktor risiko yang lain yaitu lokasi (p = 0,434), SSD (p = 1,000), kekerasan batu (p = 0,098), IMT (p = 0,175). Uji statistik multivariat dengan analisa regresi logistik tersebut menunjukan bahwa ukuran batu bermakna signifikan secara statistik sebagai potensial faktor risiko angka bebas batu (OR 0,003, p = 0,02).
Kesimpulan: Faktor risiko ukuran batu didapatkan sangat bermakna dalam mempengaruhi angka bebas batu pada pasien dengan batu ginjal yang akan menjalani ESWL, sehingga melalui ukuran batu dapat, kita dapat menentukan modalitas terapi yang akan kita berikan kepada pasien agar bisa lebih tepat, lebih efisiensi waktu dan pembiayaan.
Karakteristik penderita otitis media supuratif kronis (OMSK) yang menjalani operasi di RSUP Sanglah
endha narendra, Komang Andi Dwi SaputraOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Karakteristik penderita otitis media supuratif kronis (OMSK) yang menjalani operasi di RSUP Sanglah
Introduction: Chronic suppurative otitis media is a inflammation of middle ear periosteum with tympanic membrane perforation and discharge purulent or mucopurulent more than 2 month. Surgery is one of the management of CSOM. Objective of this research is to know the characteristic of chronic suppurative otitis media (CSOM) patients whom underwent surgery in sanglah hospital.
Methods: This study used a retrospective descriptive study designed by taking datas from medical record patient whom underwent surgery in Sanglah Hospital from June 2018 until June 2019.
Results and Conclusion: This study involved 50 patients. There was same amount between male and female, with majority age 31-40 years (32%). The most type of CSOM were benign with 30 patients (60%), the most perforation type were subtotal with 22 cases (44%) and tympanoplasty is the most surgery type were perform in csom with 24 cases (48%). Cholesteatoma was found ini 20 patient (40%) with the most location found in cavum tympany and mastoid with 8 cases (16%), granulation tissue and other pathologies found in 17 cases (34%). Intact ossicle found in 37 cases (74%) with dominantly mobile (44%).
Â
Pendahuluan: Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukoperiosteum telinga tengah disertai perforasi membran timpani dengan keluarnya sekret purulen atau mukopurulen yang terus menerus atau hilang timbul lebih dari dua bulan. Salah satu pilihan penanganan OMSK adalah tindakan operasi. Tujuan penelitian ini mengetahui karakteristik penderita otitis media supuratif kronis (OMSK) yang menjalani operasi di RSUP Sanglah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan studi retrospektif. Peneliti menggunakan teknik consecutive sampling dengan data sekunder berupa rekam medis pasien di RSUP Sanglah Denpasar dari periode Juni 2018 sampai Juni 2019.
Hasil dan Kesimpulan: Penelitian ini melibatkan 50 pasien. Didapatkan jumlah pasien lelaki dan perempuan sama 25 pasien (50%), umur mayoritas pasien adalah 31-40 tahun (32%). Tipe OMSK terbanyak adalah tipe aman dengan 30 pasien (60%). Jenis perforasi terbanyak adalah subtotal dengan 22 kasus (44%) dengan jenis operasi yang dilakukan terbanyak adalah timpanoplasti sebanyak 24 kasus (48%). Kolesteatoma ditemukan pada 20 pasien (40%) dengan lokasi terbanyak ditemukan di kavum timpani dan kavum mastoid sebanyak 8 kasus (16%), jaringan granulasi dan patologis lain ditemukan pada 17 kasus (34%). Osikel utuh ditemukan pada 37 kasus (74%) dimana mayoritas kondisi osikel masih mobile (44%).
Prevalensi kualitas tidur pada pendamping pasien (caregiver) di Ruang Mawar RSUP sanglah
Eka Suastika Anak Agung, Bagus Jaya Lesmana Cokorda, Budiarsa IGNOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Prevalensi kualitas tidur pada pendamping pasien (caregiver) di Ruang Mawar RSUP sanglah
Background: Rest and sleep are basic needs that are needed by everyone. To be able to function optimally, everyone needs adequate rest and sleep. Sleep quality is a measure where a person is easy to start sleeping and to maintain the sleep. A person’s sleep quality can be described by the length of sleep, and complaints that are felt during sleep, or after waking up. To find out the quality of sleep prevalence in caregivers of patients in the Mawar Ward Sanglah General Hospital Denpasar 2019, which was based on age, sex, medical conditions and marital status.
Method: This study uses descriptive research with cross-sectional design and the sampling method used is total sampling, where the sample of this study is 30 people. The data of this study were taken using the PSQI questionnaire (Pittsburgh Sleep Quality Index).
Result: The results of this study found that 93.3% of patients had poor quality sleep. The incidence of sleep quality in caregivers of patients in where this study was conducted was high enough.
Conclusion: In-depth analysis was needed regarding the causes of the high incidence of poor sleep quality in caregivers of patients. Because being a caregiver is a burden that threatened personal health, emotional, functional and even physical burden.
Latar Belakang: Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang di butuhkan oleh semua orang. Setiap orang untuk dapat berfungsi secara optimal, maka diperlukan istirahat dan tidur yang cukup. Kualitas tidur adalah ukuran dimana seseorang itu dapat kemudahan dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur, kualitas tidur seseorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur, dan keluhan-keluhan yang dirasakan saat tidur, ataupun sehabis bangun tidur. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat prevalensi kualitas tidur pada caregiver (pendamping) di Ruang Mawar RSUP Sanglah Denpasar 2019 yang dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, gangguan kondisi medis dan status penikahan.
Metode: Penelitian ini menggunakan penelitian deskristif dengan rancangan cross-sectional dan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, dimana sampel penelitian ini berjumlah 30 orang. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuisioner pittsburgh sleep quality index (PSQI).
Hasil: Hasil penelitian ini didapatkan bahwa 93,3% pendamping pasien mengalami kualitas tidur yang buruk. Angka kejadian kualitas tidur pada pendamping pasien tahun 2019 ditempat dilaksanakan penelitian ini cukup tinggi.
Kesimpulan: Diperlukan analisis lebih lanjut dan mendalam mengenai hal yang menyebabkan tingginya angka kejadian kualitas tidur pada pendamping pasien karena pendamping pasien merupakan beban yang mengancam kesehatan diri, emosional, fungsional bahkan beban fisik.
Karakteristik pasien disfonia pada poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2015 - 2017
Adriyani Hartayanti, I Dewa Gede Arta Eka PutraOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Karakteristik pasien disfonia pada poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2015 - 2017
Backgound: Hoarseness (dysphonia) is an abnormality which characterized by changes in vocal quality, pitch, loudness or vocal effort which disturb communication or decreased quality of life related to vocal use. Valid epidemiology information related to dysphonia will be useful to plan the future of health services. This study aims to determine the characteristics of patients with dysphonia in the ENT outpatient clinic Sanglah General Hospital Denpasar in 2015 to 2017.
Method: This is a descriptive study using cross-sectional design. The sample of this study are the patients who complains of dysphonia in ENT outpatient’s clinic Sanglah General Hospital Denpasar in January 2015 to December 2017.
Result: Obtained 149 cases of dysphonia from total of 35.475 visits. Based on age, most of the patients are in 45-64 years age group which is 67 (45%) patients. Most of them are men as many as 93 (62.4%) patients. All of the patients complaint of hoarseness, other complains are cough as many as 63 (42.3%) patients, followed by odynophagia in 49 (32.9%) patients, and swelling of the neck in 40 (26.8%) patients. Most are caused by LPR in 49 (32.9%) patients. Hoarseness is the general symptoms in dysphagia patients.
Conclusion: The characteristics of patients with dysphonia are mostly men in the 45-64 years age group, with most complaint of hoarseness, cough, and odynophagia. Most are caused by LPR
Latar Belakang: Gangguan suara atau suara serak (disfonia) didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan atau usaha vokal yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas hidup yang berhubungan dengan penggunaan suara. Informasi epidemiologi yang valid terkait gangguan suara (disfonia) akan sangat berguna untuk merencanakan masa depan penyediaan layanan kesehatan. Beberapa prevalensi data yang ada terbatas hanya pada kelompok- kelompok tertentu pengguna suara profesional (penyanyi, guru, dan penceramah), hal ini menyebabkan etiologi yang menyebabkan disfonia penting untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien disfonia pada poliklinik THT- KL RSUP Sanglah Denpasar selama 2 tahun.
Metode: Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan rancangan potong-lintang (cross-sectional). Sampel penelitian adalah penderita dengan disfonia di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2015 – Desember 2017.
Hasil: Didapatkan 149 kasus pasien dengan disfonia dari total 35.475 kunjungan pasien pada periode tersebut. Berdasarkan umur pasien, terbanyak pada kelompok usia 45-64 tahun yaitu 67 (45%) pasien. Sebagian besar pasien merupakan lelaki sebanyak 93 (62,4%). Seluruh pasien mengeluhkan suara serak, keluhan lain adalah batuk berdahak sebanyak 63 (42,3%) pasien, diikuti nyeri menelan pada 49 (32,9%) pasien, dan bengkak pada leher sebanyak 40 (26,8%) pasien. Etiologi terbanyak pada pasien adalah LPR pada 49 (32,9%).
Kesimpulan: Suara serak merupakan gejala umum pasien disfonia yang menyebabkan pasien mencari bantuan medis. Pasien disfonia terbanyak adalah lelaki berusia 45-64 tahun, dengan keluhan tersering adalah suara serak, dan penyebab terbanyak adalah LPR.
Karakteristik penderita tuli sensorineural di Bagian/KSM THT-KL RSUP Sanglah Periode Januari 2017-Desember 2018
I Nyoman Satria Pratama, Made WiranadhaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Karakteristik penderita tuli sensorineural di Bagian/KSM THT-KL RSUP Sanglah Periode Januari 2017-Desember 2018
Background: Sensorineural hearing loss is decrease of hearing or hearing loss that occurs due to damage to the inner ear, auditory nerve and brain. One of the management sensorineural hearing loss is the use of hearing aid. For sensorineural hearing loss severe grade and profound may be considered for cochlear implant. The purpose of this study was to determine the characteristics of patient with sensorineural hearing loss in the ENT-HNS Sanglah Hospital.
Methods: This study used a retrospective descriptive study designed by taking datas from medical records patient whom underwent audiometry in Sanglah Hospital from January 2017-December 2018.
Results: This study involved 268 patients. Obtained the highest number of sensorineural hearing loss patients at the age of 51-60 years (27.99%), the number of male patients are more than women with 174 people (64.93%). Bilateral ear side was more commonly affected than unilateral with 178 people (66.42%). In the right ear, the highest sensorineural hearing loss was profound with 58 people (27.35%), while the highest sensorineural hearing loss was profound with 67 people (29.26%) in left ear.
Latar Belakang: Tuli sensorineural adalah berkurangnya pendengaran atau gangguan pendengaran yang terjadi akibat kerusakan pada telinga bagian dalam, saraf pendengaran dan otak. Salah satu penatalaksanaan tuli sensorineural adalah penggunaan alat bantu dengar. Untuk tuli sensorineural derajat berat dan sangat berat dapat dipertimbangkan dengan implantasi koklea. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik penderita tuli sensorineural di Bagian/KSM THT-KL RSUP Sanglah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan studi retrospektif. Peneliti menggunakan teknik consecutive sampling dengan data sekunder berupa rekam medis pasien di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar yang menjalani pemeriksaan audiometri dari periode Januari 2017-Desember 2018.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 268 pasien. Didapatkan jumlah pasien terbanyak pada umur 51-60 tahun (27,99%), jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 174 orang (64,93%). Didapatkan sisi telinga bilateral lebih sering terkena dibandingkan unilateral yaitu 178 orang (66,42%). Pada telinga kanan didapatkan tuli sensorineural terbanyak pada derajat sangat berat yaitu 58 orang (27,35%), sedangkan pada telinga kiri didapatkantulisensorineuralterbanyakpadaderajatsangatberat yaitu 67 orang (29,26%).
Jenis dan derajat gangguan pendengaran pada pasien otitis media supuratif kronik dengan dan tanpa kolesteatoma yang menjalani operasi di RSUP Sanglah
Kadek Agustina, Komang Andi Dwi SaputraOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Jenis dan derajat gangguan pendengaran pada pasien otitis media supuratif kronik dengan dan tanpa kolesteatoma yang menjalani operasi di RSUP Sanglah
Background: Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a chronic inflammation of the mucosa and periosteum of the middle ear and mastoid cavity with manifestations of recurrent otorea of the perforated tympanic membrane.CSOM is classified into two types namely safe type without cholesteatoma and dangerous type accompanied by cholesteatoma. Patients with CSOM may experience hearing loss in both conductive and sensorineural types to varying degrees. The incidence of CSOM is quite high in developing countries which is around 5-10% while in developed countries as much as 1%. The purpose of this study was to determine the type and degree of hearing loss in CSOM patients with and without cholesteatoma who underwent surgery at Sanglah Hospital.
Method: The study used a retrospective descriptive study design by taking secondary data from medical records. The study sample was all CSOM patients who underwent surgery at Sanglah Hospital.
Results: The study were from 56 CSOM patients who underwent surgery, 24 patients with cholesteatoma and 32 patients without cholesteatoma. In the group without cholesteatoma, the most in the age range of 25-44 years and 45-64 years, respectively as many as 13 patients while in the group with cholesteatoma the most in the age range of 25-44 years. Most sex in both groups is male. The type of hearing loss in the group with cholesteatoma was conductive and mixed types with the same number of 12 patients, whereas in the group without cholesteatoma there were more conductive types. The highest degree of hearing loss in the group with cholesteatoma was moderate to severe, whereas in the group without cholesteatoma the most in mild degrees.The conclusion of this study was in the group with cholesteatoma, the most age range of 25-44 years, male, conductive and mixed types of hearing loss, with moderate to severe degree.
Conclusion: In patients without cholesteatoma most in the age range of 25-44 years, male, conductive hearing loss, and mild degree.
Latar Belakang: Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan kronis pada mukosa dan periosteum telinga bagian tengah dan kavum mastoid dengan manifestasi berupa otore yang berulang dari membran timpani yang mengalami perforasi. OMSK diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe aman tanpa kolesteatoma serta tipe berbahaya yang disertai dengan kolesteatoma. Pasien dengan OMSK bisa mengalami gangguan pendengaran baik jenis konduktif maupun sensorineural dengan derajat yang bervariasi. Insiden OMSK cukup tinggi di negara berkembang yaitu sekitar 5-10% sedangkan di negara maju sebanyak 1%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran pada pasien OMSK dengan dan tanpa kolesteatoma yang menjalani operasi di RSUP Sanglah.
Metode: Penelitian menggunakan rancangan penelitian deskriptif retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medis. Sampel penelitian adalah seluruh pasien OMSK yang menjalani operasi di RSUP Sanglah.
Hasil: Lima puluh enam pasien OMSK yang menjalani operasi, dengan kolesteatoma sebanyak 24 pasien dan tanpa kolesteatoma sebanyak 32 pasien. Pada kelompok tanpa kolesteatoma, terbanyak pada rentang umur 25-44 tahun dan 45-64 tahun, masing- masing sebanyak 13 pasien sedangkan pada kelompok dengan kolesteatoma yang terbanyak pada rentang umur 25-44 tahun. Jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok adalah lelaki. Jenis gangguan pendengaran pada kelompok dengan kolesteatoma adalah jenis konduksi dan campuran dengan jumlah yang sama yaitu masing-masing 12 pasien, sedangkan pada kelompok tanpa kolesteatoma terbanyak jenis konduksi. Pada kelompok dengan kolesteatoma, derajat gangguan terbanyak adalah sedang berat, pada kelompok tanpa kolesteatoma terbanyak didapatkan dengan derajat ringan. Simpulan penelitian ini adalah pada kelompok dengan kolesteatoma terbanyak pada rentang umur 25-44 tahun, lelaki, gangguan pendengaran jenis konduksi dan campuran, dan derajat sedang berat.
Kesimpulan: Pada pasien tanpa kolesteatoma terbanyak pada rentang umur 25-44 tahun, lelaki, jenis gangguan pendengaran konduksi, dan derajat ringan.
Improvement in diagnostic accuracy of exercise test with st/hr hysteresis in detection of significant coronary artery disease
Sakta Suryaguna, I Nyoman Wiryawan, I Wayan WitaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Improvement in diagnostic accuracy of exercise test with st/hr hysteresis in detection of significant coronary artery disease
Introduction: The epidemiological shift increases the burden that come from non-communicable disease such as coronary heart disease (CHD). Our current gold standard for diagnosing CHD remains the invasive angiography procedure. Alternative diagnostics such as cardiac exercise test with ST change standard have limited diagnostic capacity. A newly studied alternative is the ST/HR hysteresis. This study aim to compare diagnostic capacity of cardiac exercise tests using different standards: ST change and ST/HR hysteresis.
Methods: This study employed case-control diagnostic study design. Samples were recruited consecutively from patients registered in cardiology polyclinic in Sanglah General Hospital during period of study. Exclusion criteria include asymptomatic stent placement, post-coronary bypass, and patients with incomplete data. Data were obtained from medical records and analyses performed included descriptive analyses, ROC analyses, and sensitivity-specificity analyses using IBM SPSS 25.0 software.
Results: Samples totaled 134 subjects, 106 of whom were male (79,1%) and 27 (20,9%) female. Mean age was 55,4 + 8,8 years old. Of 134 subjects, 59 were confirmed to have CHD based on angiography results meanwhile 75 subjects were not found to have significant coronary arterial lesion. ROC analyses put cut off point for ST/HR hysteresis at 0,026 mV and based on this cut off point 58 were grouped as CHD-suspect (> 0,026 mV) and 76 were not. Sensitivity and specificity was 79,7% and 85,3% respectively. Based on diagnostics cross-tabulation we calculate net reclassification improvement which stood at 0,28.
Conclusion: Cardiac exercise test using ST/HR hysteresis as diagnostic standard with cut-off point of 0,026 mV was found to be an improvement on diagnostic capacity compared to standard ST change standard. More studies need to be performed to account for the different results found in different population.
Â
Pendahuluan: Pergeseran epidemiologis meningkatkan beban yang berasal dari penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner (PJK). Standar emas saat ini untuk mendiagnosis PJK tetap merupakan prosedur angiografi invasif. Diagnosis alternatif seperti uji latih jantung dengan standar perubahan segmen ST memiliki kapasitas diagnostik terbatas. Parameter alternatif adalah histeresis ST/HR. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kapasitas diagnostik uji latih jantung menggunakan standar yang berbeda: perubahan ST dan histeresis ST / HR.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi diagnostik kasus- kontrol. Sampel direkrut secara berurutan dari pasien yang terdaftar di poliklinik kardiologi di Rumah Sakit Umum Sanglah selama masa studi. Kriteria eksklusi meliputi pasien post-stent yang asimptomatik, pasca operasi pintas koroner, dan pasien dengan data yang tidak lengkap. Data diperoleh dari rekam medis dan analisis yang dilakukan termasuk analisis deskriptif, analisis kurva ROC, dan analisis spesifisitas sensitivitas menggunakan perangkat lunak IBM SPSS 25.0.
Hasil: Sampel berjumlah 134 subjek, 106 di antaranya adalah laki-laki (79,1%) dan 27 (20,9%) perempuan. Usia rata-rata adalah 55,4 + 8,8 tahun. Dari 134 subjek, 59 dikonfirmasi memiliki PJK berdasarkan hasil angiografi, sementara 75 subjek tidak ditemukan memiliki lesi arteri koroner yang signifikan. Analisis ROC menempatkan titik cut-off untuk histeresis ST / HR pada 0,026 mV dan berdasarkan pada titik cut-off ini 58 dikelompokkan sebagai PJK (> 0,026 mV) dan 76 tidak. Sensitivitas dan spesifisitas masing- masing adalah 79,7% dan 85,3%. Berdasarkan tabulasi silang diagnostik kami mendapatkan peningkatan reklasifikasi bersih yang berada di 0,28.
Kesimpulan: Uji latih jantung dengan menggunakan histeresis ST / HR sebagai standar diagnostik dengan cut-off point 0,026 mV ditemukan peningkatan kapasitas diagnostik dibandingkan dengan standar perubahan segmen ST. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menjelaskan hasil yang berbeda yang ditemukan pada populasi yang berbeda
Hubungan antara ekskresi albumin urin dan penurunan Global Longitudinal Strain (GLS) dengan Speckle Tracking Echocardiography (STE) pada pasien DM tipe 2
I Dewa Gde Aditya Diprabawa, I Ketut Badjra Nadha, Wira GoteraOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Hubungan antara ekskresi albumin urin dan penurunan Global Longitudinal Strain (GLS) dengan Speckle Tracking Echocardiography (STE) pada pasien DM tipe 2
Background: Prevalence of type 2 diabetes mellitus (DM) in Indonesia and Bali is quite high. In 2007, Denpasar was the highest prevalence of type 2 DM in the city of Bali province by 2%. Type 2 DM is a chronic disease that can be fatal because type 2 DM patients increase the risk of cardiovascular disease which is the highest cause of death worldwide. Type 2 DM is one of the causes of kidney disorders and kidney failure. The initial sign of diabetic nephropathy is microalbuminuria which in some studies has been proven as a marker of endothelial dysfunction which can cause atherosclerosis and diabetic cardiomyopathy. Global longitudinal strains assessed using speckle tracking echocardiography have the advantage of being able to assess subclinical left ventricular dysfunction.
Method: This study was a cross-sectional study using a sample of 60 patients with type 2 DM taken consecutively during January - April 2019.
Result: Of the 60 patients with type 2 DM the average age was 55.23±8.7 years (27 women and 33 men) with a mean urine creatinine albumin ratio of 55 ug / mg of which 38 patients (63.33%) had microalbuminuria. Patients with microalbuminuria had longer duration of diabetes mellitus (7.34±3.68 with 4.64±2.74 years), higher HbA1c levels (8.64±1.70 with 7.13 ± 0.85%) and lower globallongitudinal strains (20.26±1.81 with 23.05±1.68%). Bivariate analysis showed a significant relationship between microalbuminuria with global longitudinal strains (r -0.577; p <0.001). After adjusting for confounding factors, microalbuminuria remained significantly associated with left ventricular global longitudinal strains (r2 0.574; 95% CI (-)3.987- (-)0.796; p= 0.004).
Conclusion: Higher urinary albumin / creatinine ratio in type 2 DM patients have been shown to correlate with a decrease in the left ventricular Global Longitudinal Strain.
Latar Belakang: Prevalensi DM tipe 2 di Indonesia dan Bali cukup tinggi. Prevalensi DM tipe 2 di provinsi Bali tahun 2007 sebesar 1% tertinggi di kota Denpasar sebesar 2%. DM tipe 2 merupakan penyakit kronik yang dapat berakibat fatal dikarenakan pasien DM tipe 2 meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular yang merupakan penyabab kematian tertinggi di seluruh dunia. DM tipe 2 adalah salah satu penyebab gangguan ginjal dan gagal ginjal. Tanda awal diabetik nefropathy adalah mikroalbuminuria yang pada beberapa studi terbukti sebagai penanda telah terjadinya disfungsi endotel yang mana dapat menyebabkan terbentuknya atherosklerosis dan diabetik kardiomiopati. Global longitudinal strain yang dinilai dengan menggunakan speckle tracking echocardiography mempunyai kelebihan dapat menilai disfungsi ventrikel kiri subklinis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional ini menggunakan sampel 60 pasien diabetes mellitus tipe 2 yang diambil secara konsekutif selama bulan Januari – April 2019.
Hasil: Dari 60 pasien dengan DM tipe 2 rerata usia 55,23± 8,7 tahun (27 perempuan dan 33 lelaki) dengan rerata rasio albumin kreatinin urin 55 ug/mg yang mana 38 pasien (63,33%) dengan mikroalbuminuria. Pasien dengan mikroalbuminuria durasi diabetes melitus yang lebih lama (7,34 ± 3,68 dengan 4,64 ± 2,74 tahun), kadar HbA1c lebih tinggi (8,64 ± 1,70 dengan 7,13 ± 0,85%) dan global longitudinal strain yang lebih rendah (20,26 ± 1,81 dengan 23,05 ± 1,68%). Analisis bivariat dengan regresi linier, menunjukkan hubungan yang signifikan antara mikroalbuminuria dengan global longitudinal strain (r -0,577; p<0,001). Setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor perancu, mikroalbuminuria tetap berhubungan secara signifikan dengan global longitudinal strain ventrikel kiri (r2 0,574; IK 95% (-)3,987- (-)0,796; p= 0,004).
Kesimpulan: Rasio albumin/kreatinin urin yang lebih tinggi pada pasien DM tipe 2 terbukti berkorelasi dengan penurunan global longitudinal strain ventrikel kiri.
Karakteristik penderita karsinoma sinonasal yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar
Pringga Dewi Astuti, I Gde Ardika NuabaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Karakteristik penderita karsinoma sinonasal yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar
Introduction: Sinonasal carcinoma are malignant tumors found in nasal cavity and paranasal sinuses. This malignancy ranks second most frequent of the head and neck malignancy after nasopharyngeal carcinoma. The principle of management is multimodality with surgery such as maxillectomy as the first choice followed by radiotherapy and/or chemotherapy. The incidence of sinonasal carcinoma continues to increase every year and requires further research. This study aimed to determine the characteristics of sinonasal carcinoma patients who underwent surgery at Sanglah General Hospital Denpasar in the period 2016-2018.
Methods: The study used a retrospective descriptive study design by taking secondary data from medical records. The study sample was sinonasal carcinoma patients who underwent surgery at Sanglah General Hospital Denpasar in the period 2016-2018.
Results: This study involved 45 patients. The majority age 41-60 years (46.7%) with male (51.1%) and women (48.9%). Most worked as farmers (42.2%) and at least as civil servants (6.7%). The most stage of disease was stage IV (57.8%) and the least was stage II (8.9%). Surgery performed were lateral rhinotomy (68.9%) and midfacial degloving (31.1%). Histopathological finding include squamous cell carcinoma (53.3%), adenoid cystic carcinoma (17.8%), adenocarcinoma (13.3%), undifferentiated carcinoma (11.1%) and other histopathological finding (4.5%).
Conclusion: Sinonasal carcinoma patients who underwent surgery, most in the age group 41-60 years, men, worked as farmers, with lateral rhinotomy surgery and histopathological finding was squamous cell carcinoma.
Pendahuluan: Karsinoma sinonasal adalah tumor ganas yang terdapat pada kavum nasi dan sinus paranasal. Keganasan ini menempati peringkat kedua yang paling sering dari keganasan di kepala dan leher setelah karsinoma nasofaring. Prinsip penatalaksanaan adalah multimodalitas dengan pembedahan berupa maksilektomi sebagai pilihan utama dilanjutkan dengan radioterapi dan atau kemoterapi. Angka kejadian karsinoma sinonasal terus meningkat dari tahun ke tahun dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita karsinoma sinonasal yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2016-2018.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan studi retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medis. Sampel penelitian adalah penderita karsinoma sinonasal yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2016-2018.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 45 pasien. Didapatkan kelompok umur terbanyak adalah 41-60 tahun (46,7%) dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (51,1%) dibandingkan perempuan (48,9%). Jenis pekerjaan terbanyak yaitu sebagai petani (42,2%) dan paling sedikit sebagai PNS (6,7%). Stadium penyakit terbanyak adalah stadium IV (57,8%) dan terendah stadium II (8,9%). Jenis operasi yang dilakukan yaitu rinotomi lateralis (68,9%) dan midfacial degloving (31,1%). Gambaran histopatologi berupa karsinoma sel skuamosa (53,3%), karsinoma kistik adenoid (17,8%), adenokarsinoma (13,3%), karsinoma tidak berdiferensiasi (11,1%) dan gambaran histopatologi lainnya (4,5%).
Kesimpulan: Penderita karsinoma sinonasal yang menjalani operasi terbanyak pada kelompok umur 41-60 tahun, lelaki, bekerja sebagai petani, dengan jenis operasi rinotomi lateralis dan gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa.
Satu kasus linear IgA dermatosis pada anak
I Gusti Ayu Dian Intan Padmawati, Luh Made Mas RusyatiOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Satu kasus linear IgA dermatosis pada anak
Background: Linear immunoglobulin A (IgA) dermatosis is a rare immunized mediated disease, characterized by homogeneous linear IgA deposition of the basal membrane of the skin. This case occurs most often after puberty, with most patients seen after the fourth decade with a clinical picture of tense bullae with symmetrical spread on extensors including elbows, knees and buttocks accompanied by itching. Reportedly this case is more common in Europeans and rarely in Asians and Afroamerica, prevalence around 1.2-39.2 per 100,000 children.The therapy given is dapsone but if the intolerant patient can dapone given systemic glucocorticoids as a single therapy.
Case Ilustration: In this case report reported cases of Linear immunoglobulin A (IgA) dermatosis on the face, body and hands in 11 year old girls. Diagnosis is based on history, physical examination and histopathological examination. Patients in this case report were given systemic methylprednisolone glycocorticoid therapy. Patients showed good results after therapy, and no side effects occurred during treatment.
Conclusion: The case prognosis was dubius ad bonam.
Latar Belakang: Linear immunoglobulin A (IgA) dermatosis merupakan penyakit bula yang dimediasi imun yang jarang, ditandai dengan deposisi IgA linear homogen pada membran basal kulit. Kasus ini terjadi paling sering setelah pubertas, dengan sebagian besar pasien tampak setelah dekade keempat dengan gambaran klinis berupa bula tegang dengan penyebaran yang simetris pada ekstensor termasuk siku,lutut dan bokong disertai rasa gatal.Dilaporkan kasus ini lebih sering terjadi pada orang Eropa dan jarang pada orang Asia dan Afroamerika, prevelensi sekitar 1,2-39,2 per 100.000 anak. Terapi yang diberikan adalah dapsone tetapi apabila pasien intoleranterhadap dapson dapat diberikan glukokortikoid sistemik sebagai terapi tunggal.
Ilustrasi Kasus: Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus Linear immunoglobulin A (IgA) dermatosis pada wajah,badan dan kedua tangan pada anak perempuan usia 11 tahun.Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan histopatologi. Pasien pada laporan kasus ini diberikan terapi glikokortikoid sistemik metilprednisolon.. Pada pasien menunjukkan hasil baik paska terapi, dan tidak terjadi efek samping selama pengobatan.
Kesimpulan: Prognosis pada pasien dubius ad bonam.
Satu kasus urtikaria pigmentosa pada seorang anak laki-laki
Jessica Tania, Made Swastika AdigunaOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Satu kasus urtikaria pigmentosa pada seorang anak laki-laki
Backgroud: Urticaria pigmentosa is a cutaneous mastocytosis that manifest as hyperpigmentetd macules and papules size 1 – 2,5 cm. It appears at birth or strart to appear in infants. The etiology is still unknown but some researches show it caused by the mutation in c-kit gen. Darier’s sign in a pathognomonic sign of urticaria pigmentosa. In biopsy examination will show a duffuse infiltration of mast cells on one third upper dermis along the perivascular aggregates. There are three aspects in the treatment of urticaria pigmentosa such as a counseling, avoidance of risk factors, and therapuetic.
Case Illustration: We report a case of urticaria pigmentosa in a 2 years old boy with multilpe hyperpigmented macules all over the body with positive darier’s sign. On biopsy examination was found melanocyte pigment on epidermis and inflammed mast cells with granulated cytoplasm an round nucleus on dermis.
Conclusion: Case outcome was dubius ad bonam
Latar Belakang: Urtikaria pigmentosa merupakan bentuk mastositosis kutaneus dengan gambaran klinis berupa makula atau papul kecoklatan dengan ukuran 1–2,5 cm yang biasanya muncul segera setelah lahir atau mulai tumbuh saat bayi. Penyebab urtikaria pigmentosa ini masih belum diketahui dengan pasti dan dikatakan disebabkan oleh adanya mutasi pada gen c-kit. Pada urtikaria pigmentosa dapat ditemukan adanya darier’s sign yang merupakan tanda patognomonik dari penyakit ini. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya infiltrasi difus dari sel mast pada sepertiga atas lapisan dermis sepanjang agregat perivaskular. Penatalaksanaan terdiri dari 3 aspek yaitu konseling, menghindari faktor pencetus yang dapat menstimulasi degranulasi sel mast dan gejala yang dapat mensupresi kulit dan mediator sel mast, serta aspek terapeutik.
Ilustrasi Kasus: Berikut dilaporkan satu kasus urtikaria pigmentosa pada seorang anak laki-laki berusia 2 tahun dengan keluhan adanya bercak kecoklatan pada tubuh yang awalnya berupa bentol kemerahan. Pada status dermatologis didapatkan efloresensi berupa makula hiperpigmentasi multipel. Pada pemeriksaan darier’s sign didapatkan hasil positif. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan pada lapisan epidermis tampak adanya pigmen melanosit dan pada lapisan dermis tampak ilfiltrat sel radang sel mast dengan morfologi sitoplasma bergranul dengan inti bulat.
Kesimpulan: Prognosis pasien ini adalah dubius ad bonam.
Diagnosis kasus neuromyelitis optika tanpa pemeriksaan aquaporin-4-immunoglobulin-G serta terapi kortikosteroid dosis tinggi
Ni Luh Nita Natalia, Anak Agung Mas Putrawati Triningrat, Ni Made SusilawathiOnline First: Jul 6, 2020
- Abstract
Diagnosis kasus neuromyelitis optika tanpa pemeriksaan aquaporin-4-immunoglobulin-G serta terapi kortikosteroid dosis tinggi
Background: Neuromyelitis optica (NMO) is a demyelination of the central nervous system disease and more dominant involving the spinal cord and optic nerve. The diagnosis is established by finding positive NMO-IgG serological tests or without serological tests but fulfilling core criteria (optic neuritis, acute myelitis, area postrema syndrome, symptomatic narcolepsy and symptomatic cerebral syndrome). The purpose of this case report is to establish the diagnosis of NMO without serological tests and treatment with optic neuritis treatment trial (ONTT).
Case Ilustration: This report describes a 22-year-old man with a sudden vision loss and pain on eye movement. One month before, patient was diagnosed with transverse myelitis by neurologist with complaints of vomiting, fatigue, weakness of the lower limbs, urinary and fecal incontinence, and respiratory failure. From eyes examination found visual acuity right eye (RE) 6/6 and left eye (LE) no light perception. Relatively afferent pupillary defect (RAPD) was positive, funduscopy and optical coherence tomography (OCT) revealed swelling of the left optic disc. Thoracolumbar magnetic resonance imaging (MRI) showed longitudinal lesions in the spinal cord. The patient was then diagnosed with optic neuromyelitis OS and a high dose of corticosteroid was given according to the ONTT procedure. After 1 month of treatment, left eye visual acuity increased from NLP to 6/6 and there was a resolution of the optic disc swelling. Optic neuromyelitis is a disease with a high recurrence rate, and can cause permanent blindness.
Conclusion: Rapid diagnosis, administration of high-dose systemic corticosteroids, and preventing recurrence play significant role in reducing the disabilities and improvement in vision.
Latar Belakang: Neuromyelitis optika (NMO) merupakan penyakit demyelinisasi susunan saraf pusat dan lebih dominan mengenai sumsum tulang belakang dan saraf optik. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukan tes serologi NMO-IgG yang positif atau tanpa tes serologi tapi memenuhi kriteria inti (neuritis optik, myelitis akut, area postrema syndrome, narkolepsi simptomatik dan sindrom serebral simptomatik). Tujuan dari laporan kasus ini adalah penegakan diagnosa NMO tanpa pemeriksaan serologi dan terapi dengan optic neuritis treatment trial (ONTT).
Ilustrasi Kasus: Laporan ini memaparkan lelaki usia 22 tahun dengan penurunan tajam penglihatan mendadak dan nyeri saat menggerakkan bola mata. Riwayat 1 bulan sebelumnya, pasien didiagnosa myelitis transversa oleh neurologis dengan keluhan muntah, lemas, kelemahan tungkai bawah, inkontinensia urin dan alvi, hingga gagal napas. Pemeriksaan mata didapatkan tajam penglihatan okuli dekstra (OD)Â 6/6 dan okuli sinistra (OS) no light perception. Relatif afferent pupillary defect (RAPD) positif, funduskopi dan optical coherence tomography (OCT) didapatkan pembengkakan saraf optik pada OS. Magnetic resonance imaging (MRI) thorakolumbal menunjukkan lesi longitudinal yang panjang pada sumsum tulang belakang. Pasien kemudian didiagnosa dengan OS neuromyelitis optika dan kortikosteroid dosis tinggi diberikan sesuai dengan prosedur ONTT. Setelah 1 bulan pengobatan, tajam penglihatan OS meningkat dari NLP menjadi 6/6 dan terjadi perbaikan pada pembengkakan saraf optik. Neuromyelitis optika adalah penyakit dengan angka kekambuhan yang tinggi, dan dapat penyebabkan kebutaan yang permanen.
Kesimpulan: Diagnosa yang cepat, pemberian kortikosteroid sistemik dosis tinggi, serta mencegah kekambuhan signifikan dalam menurunkan akumulasi kecacatan dan perbaikan pada tajam penglihatan.
Priapismus iskemik dengan leukemia granulositik kronis
Nugraha Gunamanta Sabudi, Anak Agung Gde Oka, Gede Wirya Kusuma DuarsaOnline First: Apr 1, 2020
- Abstract
Priapismus iskemik dengan leukemia granulositik kronis
Priapism is one of urological emergency case. There are 2 types of priapism, the ischemic priapism and non-ischemic priapism due to treatment approach. Chronic myeloid leukemia is one of hematologic disorders that could cause ischemic priapism. A 24 years old male patient came with painful erection for 19 hours before hospital admission. Physical examination found an erecting penis more than 4 hours and prepuce edema. Blood gas analysis and complete blood count revealed penile blood ischemic, anemia and hyper-leukocytosis. Aspiration and irrigation procedure was done with adrenaline injection to corpus cavernosum. Dorsal slit incision was performed to relieve the tension caused by swelling prepuce to gland penis and subsequent acute urinary retention. In six hours, penile rigidity turn into flaccid then 16 Fr dower catheter was inserted and dressed by gauze. Bone marrow aspiration that was done by Hematology and Oncology Medicine (HOM) division revealed a chronic myeloid leukemia.\
Â
Priapismus adalah kasus kegawatdaruratan di bidang urologi. Priapismus dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu priapismus iskemik dan priapismus non-iskemik sesuai pendekatan tatalaksananya. Leukemia granulositik kronis adalah salah satu gangguan hematologi yang dapat menyebabkan priapismus iskemik. Seorang pasien laki-laki berusia 24 tahun datang ke rumah sakit mengeluhkan nyeri pada penisnya yang ereksi selama 19 jam. Pemeriksaan fisik didapatkan ereksi penis lebih dari 4 jam disertai edema prepusium. Pemeriksaan analisis gas darah dan darah lengkap menunjukan hasil penis iskemik, anemia dan hiper- leukositosis. Prosedur aspirasi dan irigasi dengan injeksi adrenalin dilakukan pada korpus kavernosum penis. Insisi dorsal slit juga dikerjakan untuk membebaskan glan penis dari tekanan edema prepusium dan retensi urin akut. Enam jam kemudian priapismus pasien tertangani, ereksi penis menjadi flaksid. Dower kateter Fr 16 kemudian dipasang dan penis dibalut dengan perban kasa. Bone marrow aspiration dilakukan oleh divisi Hematologi Onkologi Medis (HOM) dan didapatkan hasil leukemia granulositik kronis.